Banyak yang berpendapat bahwa perubahan yang dibuat UU No. 36 Tahun 2008 pada dasarnya adalah mengenai hal penurunan tarif Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan saja. Padahal kalau kita kaji lebih lanjut, UU Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 mengatur tentang perubahan-perubahan yang lebih luas dari pendapat orang tersebut yang menimbulkan dampak yang signifikan terhadap Pajak Penghasilan di Indonesia, baik itu berdampak terhadap penghasilan wajib pajak. Pokok-pokok perubahan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
Subjek Pajak
Terdapat perluasan pengertian Badan Usaha Tetap (BUT). Dalam pasal 2 ayat 5 UU No. 36 Tahun 2008 dijelaskan bahwa BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk BUT diperluas dengan ditambahnya bentuk BUT berupa gudang, ruang promosi, dan usaha melalui elektronik/internet.[1]
Objek Pajak
Terjadi penegasan objek PPh dalam UU No. 36 Tahun 2008. Penegasan objek PPh tersebut terdapat dalam pasal 4 ayat 1 dengan objek pajak berupa penghasilan, termasuk:
· Penghasilan dari usaha berbasis syariah
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha berbasis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut UU ini.[2]
· Imbalan bunga sebagaimana dimaksud UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
· Surplus Bank Indonesia (BI)
Objek ini mengundang banyak pro dan kontra akibat perbedaan persepsi, yaitu BI sebagai badan hukum publik seharusnya tidak dikenakan pajak. Di sisi lain, BI berkewajiban menjamin stabilitas moneter sehingga pengenaan pajak terhadap surplus BI tidak memberikan dampak yang positif terhadap keuangan pemerintah.[3]
Di dalam UU No. 36 Tahun 2008 juga terdapat perluasan objek PPh final. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 4 ayat 2 bahwa perluasan objek PPh final termasuk:
· Transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa
· Transaksi penjualan saham/pengalihan meodal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura
· Jasa konstruksi
· Usaha real estate
Dalam pasal 4 ayat 3, terdapat penegasan non-objek PPh , yaitu:
· Deviden yang diterima korporasi
· Bagian laba yang diterima pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
· Beasiswa yang memenuhi syarat tertentu
· Sisa lebih yang diterima lembaga nirlaba di bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan (litbang)
· Bantuan/santunan yang dibayarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu
· Pencabutan ketentuan bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama lima tahun pertama
Biaya Yang Diperkenankan Sebagai Pengurang Penghasilan
Besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (biaya 3M). Dalam pasal 6 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008 terdapat beberapa penambahan biaya 3M, yaitu:
· Biaya promosi dan penjualan
· Piutang tak tertagih
· Biaya beasiswa
· Pemupukan dana cadangan
· Sumbangan bencana nasional
· Sumbangan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
· Biaya infrastruktur sosial
· Sumbangan fasilitas pendidikan
· Sumbangan pembinaan olahraga
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Pengaturan mengenai penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam UU No. 36 Tahun 2008 diatur dalam pasal 7 ayat 1. Dalam UU No. 36 Tahun 2008, PTKP mengalami kenaikan dari UU PPh sebelumnya. Pengaturannya adalah sebagai berikut:
· Untuk diri wajib pajak orang pribadi Rp 15.840.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah Rp 13.200.000,00)
· Tambahan untuk wajib pajak yang kawin Rp 1.320.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 1.200.000,00)
· Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami Rp 15.840.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 13.200.000,00)
· Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan, paling banyak tiga orang untuk setiap keluarga adalah Rp 1.320.000,00 (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah 1.200.000,00)
Pemisahan Pengenaan Pajak Suami Istri
Dalam pasal 8 ayat 2 huruf c UU No. 36 Tahun 2008, terdapat penambahan ketentuan baru mengenai pemisahan pangenaan pajak suami-istri. Pengenaan pajak suami-istri dikenai pajak secara terpisah apabila dikehendaki oleh istri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Dalam pasal 14 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008, batas peredaran usaha untuk dapat menggunakan norma penghitungan neto bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dinaikkan menjadi Rp 4,8 Milyar peredaran bruto per tahunnya (dalam ketentuan UU PPh sebelumnya adalah Rp 600 juta).
Tarif Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam pasal 17 UU PPh sebelumnya, pengenaan tarif pajak penghasilan dilakukan dengan lima lapisan, yaitu:
No. | Lapisan Penghasilan | Tarif |
1. | S.d Rp 25.000.000,- | 5% |
2. | Di atas Rp25.000.000,- s.d. Rp 50.000.000,- | 10% |
3. | Di atas Rp50.000.000,- s.d. Rp 100.000.000 | 15% |
4. | Di atas Rp100.000.000,- s.d.Rp200.000.000,- | 25% |
5. | Di atas Rp200.000.000,- | 35% |
Di dalam pasal 17 ayat 1 huruf a UU No. 36 Tahun 2008, pengenaan tarif pajak penghasilan disederhanakan menjadi empat lapisan, yaitu:
No | Lapisan Penghasilan | Tarif |
1. | S.d. Rp 50.000.000,00 | 5% |
2. | Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp250.000.000,00 | 15% |
3. | Di atas Rp250.000.000,00 s.d. Rp500.000.000,00 | 25% |
4. | Di atas Rp500.000.000,00 | 30% |
Tarif Wajib Pajak Badan
Di dalam ketentuan UU PPh sebelumnya, pengenaan tarif wajib pajak badan dikenakan secara progresif melalui tiga lapisan, yaitu:
Lapisan Penghasilan | Tarif |
S.d. Rp 50.000.000,00 | 10% |
Di atas Rp50.000.000,00 s.d. Rp100.000.000,00 | 15% |
Di atas Rp100.000.000,00 | 30% |
Di dalam pasal 17 ayat 1 huruf b UU No. 36 Tahun 2008, pengenaan tarif pajak badan dikenakan dengan tarif tunggal 28% pada tahun 2009, dan pada tahun 2010 akan diturunkan menjadi 25% berdasarkan pasal 17 ayat 2a. Bagi perusahaan yang masuk bursa, tarif pajak masih diberi pengurangan 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (dimiliki masyarakat).
Pencegahan Penghindaran Pajak
Di dalam pasal 18 UU No. 36 Tahun 2008 terdapat penambahan ketentuan sesuai dalam rangka pencegahan penghindaran pajak pada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa[4], yaitu:
· Dalam pasal 18 ayat 3b, wajib pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company[5]), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang wajib pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga;
· Dalam pasal 18 ayat 3c, penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (Conduit Company atau Special Purpose Company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia;
· Dalam pasal 18 ayat 3d, besarnya penghasilan yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan wajib pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
Tarif Pemotongan/Pemungutan
Dalam UU No. 36 Tahun 2008 terjadi pembedaan pemungutan berdasarkan wajib pajak dengan NPWP dan tanpa NPWP. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan pemerintah yang hendak melakukan ekstensifikasi pajak . Pengaturan tentang tarif ini berkaitan dengan ketentuan di dalam pasal 21, 22, dan 23.
Terjadi beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 21, yaitu:
· Tarif pemotongan PPh Pasal 21 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 20% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
· Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditiadakan, SPT Masa Bulan Desember menggantikan SPT Tahunan.
Terjadi beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 22, yaitu:
· Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 22 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
· WP yang membeli barang tergolong sangat mewah dipungut PPh Pasal 22 sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan.
Terjadi beberapa perubahan ketentuan dalam pasal 23, yaitu:
· Tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 untuk WP yang tidak ber-NPWP lebih besar 100% dari tarif bagi WP yang ber-NPWP.
· Mempertegas definisi saat terutang pada penjelasan Pasal 23 ayat (1) yaitu pada saat jatuh tempo.
· Penghasilan yang diterima oleh jasa keuangan yang dilakukan oleh bank dan jasa yang sama yang dilakukan oleh WP bukan bank yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak dipotong Pajak Penghasilan, tetapi pembayaran pajaknya melalui angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25. (Pasal 23 (4) a).
Angsuran Pajak
Perubahan ketentuan dalam pasal 25 ayat 7 yaitu Menteri Keuangan menentukan besarnya angsuran pajak bagi wajib pajak pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% dari junlah peredaran bruto berdasarkan pembukuan atau pencatatan setiap bulan.
Fiskal Luar Negeri
Bagi wajib pajak orang pribadi yang memiliki NPWP tidak membayar fiskal luar negeri berdasarkan ketentuan pasal 25 ayat 8.
Fasilitas Pajak
Dalam pasal 31A ayat 1, kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:
· pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;
· penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
· kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan
· pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
Dalam pasal 31A ayat 2, ketentuan mengenai bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam pasal 31E ayat 1, wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00
Perjanjian Pajak (Tax Treaty[6]) Obligasi Negara
Dalam rangka memperluas pasar Obligasi Negara, pemerintah dapat mengenakan tarif khusus yang lebih rendah atau membebaskan pengenaan pajak atas Obligasi Negara yang diperdagangkan di bursa negara lain. Pemerintah hanya dapat mengenakan perlakuan khusus ini sepanjang negara lain tersebut juga memberikan perlakuan yang sama atas obligasi negara lain tersebut yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
[1] Untuk lebih jelas baca pasal 2 ayat 5 UU No. 36 Tahun 2008 beserta penjelasannya.
[2] Lihat penjelasan pasal 4 ayat 1 huruf q UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
[3] Sigit Hutomo. op.cit., hlm. 3
[4] Definisi menurut PSAK No. 7: Pihak-pihak yang dianggap mempunyai hubungan istimewa bila satu pihak mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional. Lebih lanjut baca artikel M. Ali Shodiqin. Kajian Atas Aspek Pemeriksaan Pajak Cross-Border Transfer Pricing (Studi Kasus: Indonesia, China, dan Australia). (InsideTax, Edisi 07, Mei 2008), hlm. 7.
[5] Special Purpose Vehicle atau yang seringkali disebut juga dengan nama Special Purpose Company, adalah suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk mendukung jalannya proses sekuritisasi aset. Perusahaan ini merupakan lembaga yang akan membeli piutang dan selanjutnya menjadikan piutang tersebut sebagai jaminan penerbitan Efek Beragun Aset (Asset Backed Securities) kepada Investor. Lebih lanjut baca artikel Gunawan Widjaja. Beberapa Konsepsi Hukum Yang Harus Diperhatikan Dalam Rangka Penyusunan RUU Sekuritisasi. www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+3&f=sekuritisasi.pdf. Diakses pada tanggal 1 Maret 2009.
[6] Tax treaty adalah perjanjian perpajakan bilateral yang bertujuan untuk mencegah timbulnya pengenaan pajak berganda dan memerangi praktik pengelakan pajak. Lebih lanjut baca artikel John Hutagaol dan Wilson Tobing. Pemahaman Tentang Dasar-dasar Tax Treaty. (Indonesian Tax Review Vol. 7 No. 12, 2008).
2 comments:
Mantap mas
Nice info pak, good job
thanks
Post a Comment