Pendahuluan
Perbenturan ideologi antara kedua kekuatan politik (partai-partai Islam dengan kelompok nasionalis) dalam masalah pengajuan Islam sebagai dasar falsafah negara sangat mewarnai iklim demokrasi Indonesia pada tahun 1950-an, sedangkan dampaknya masih terasa sampai hari ini. Perdebatan tentang masalah dasar negara berlangsung dengan sengitnya sampai Majelis Konstituante dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada bulan Juli 1959 dalam usahanya menciptakan suatu tatanan politik yang dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).
Di tengah kesulitan yang dihadapi oleh sebagian politisi Muslim untuk memasukkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya) kedalam konstitusi Indonesia karena pada akhirnya gagasan itu ditolak oleh mayoritas suara, Sukarno, presiden pertama Indonesia pernah menyatakan bahwa jika sebagian besar orang Indonesia benar-banar Muslim dan jika benar bahwa Islam merupakan agama yang hidup di hati rakyat, maka silahkan setiap pemimpin menggerakkan orang-orangnya agar delegasi Muslim menempati kursi parlemen. Dengan demikian undang-undang yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan rakyat ini dengan sendirinya akan menjadi Islami. Jika orang Kristen, misalnya, menginginkan agar setiap kata-kata dalam peraturan Negara Indonesia sejalan dengan Bible , maka silahkan mereka bekerja dengan sungguh-sungguh agar sebagian besar delegasi yang menduduki badan perwakilan rakyat di Indonesia adalah orang-orang Kristen.
Apa yang dikatakan oleh Sukarno mengandung pengertian bahwa meskipun jaminan konstitusi untuk menjalankan syari’at Islam gagal diperoleh oleh partai Islam, kesempatan untuk membuat undang-undang atau aturan yang berdasar atau diilhami oleh syari’at Islam melalui mekanisme demokrasi perwakilan di Indonesia masih tetap terbuka luas.
Akan tetapi, itu semua bukan berarti tanpa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan itu tampak dalam tulisan beberapa pengamat yang khawatir bahwa activist Islam akan menggunakan demokrasi untuk mematikan demokrasi. Wendy Asbeek Brusse dan Jan Schoonenboom dalam tulisannya yang berjudul Islamic Activism and Democratization menyatakan bahwa regim-regim di Timur Tengah serta pendukungnya di Barat enggan memberikan keleluasaan bagi politik Islam untuk bergerak dan berberpartisipasi secara penuh dalam pemilihan nasional dan pemilihan parlemen karena mereka beralasan bahwa bila gerakan itu mendapat akses ke politik dan memegang kekuasaan maka mereka akan segera mengakhiri kompetisi demokrasi. Hal ini karena mereka pada dasarnya menolak prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang mereka pandang bertentangan dengan syari’at dan kedaulatan mutlak Tuhan.
I.Periode Pasca Kemerdekaan sampai Dekrit Presiden
Tulisan ini membicarakan perjuangan ideologi Islam dan Pancasila pada periode pasca kemerdekaan sampai masa Dekrit Presiden tahun 1959. Tetapi sebelum itu, lebih dulu perlu dikaji lebih jauh tentang teori negara Islam dengan rujukan penulis muslim Indonesia, yang umumnya juga adalah pembicara-pembicara yang bersemangat membela dasar Islam
Teori-teori tentang Negara Islam
Diskusi tentang teori suatu Negara Islam di Indonesia adalah suatu fenomena yang terjadi baru-baru ini, dan itu hampir seluruhnya dilakukan oleh penulis-penulis dan politisi modernis muslim, namun sayangnya belum seorang pun diantara mereka yang telah berhasil menyusun suatu karya sistematis dan ilmiah yang mampu mengartikulasikan hakekat dan corak suatu Negara Islam yang ingin mereka ciptakan di Indonesia.
Fenomena tentang langkanya karya mendasar ini sebenarnya bukan saja dirasakan di Indonesia. Di negeri-negeri Islam lainnya pun sulit sekali ditemukan suatu karya yang mengkaji secara teoritis: hakekat, watak dan sifat suatu Negara yang berdasarkan Islam. Beberapa tokoh-tokoh yang mengemukakan pendapat tentang negara adalah:
Mohammad Natsir
Natsir menjelaskan hubungan Islam dengan Negara di Indonesia dimana umat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya yang berjudul Islam Sebagai Dasar Negara, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai 2 pilihan, yaitu sekulerisme atau paham agama.[1] Dan Pancasila menurut pendapatnya bercorak sekuler, tidak mau mengakui wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil penggalian dari masyarakat.[2]
Mengenai negara sebagai satu institusi, Natsir hanyalah mengikuti pendapat-pendapat tentang persyaratan negara modern. Jadi Negara harus memiliki : wilayah, rakyat, pemerintah, kedaulatan dan konstitusi. Natsir berkata “Negara itu harus mempunyai akar yang langsung tertanam dalam masyarakat”. Sesuai dengan garis argumen yang diajukannya, Natsir mengajak orang untuk melihat bahwa Islam sebagai agama anutan mayoritas rakyat Indonesia cukup punya akar dalam masyarakat, dan karena itu punya alasan yang kuat untuk dijadikan dasar negara.[3] Alasan lain mengapa partai-partai Islam mengusulkan Islam sebagai dasar negara, menurut Natsir ialah bahwa ajaran Islam punya sifat-sifat sempurna bagi kehidupan Negara dan masyarakat dan dapat menjamin keragaman hidup antar berbagai golongan dalam negara dengan penuh toleransi. Ini punya implikasi bahwa kelompok agama minoritas tidak punya alasan untuk takut kepada Islam sebagai dasar negara. Sudah tentu imbauan ini tidak mudah diterima oleh golongan-golongan politik diluar partai-partai Islam, karena contoh suatu negara Islam yang baik di masa modern ini belum muncul di permukaan bumi.
Mengupas masalah hubungan Islam dengan negara, Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan “…..seseorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Dunia dan akhirat ini sama sekali kaum muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka”. Bagi pemimpin modernis ini, negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah demi keselamatan dan kesentosaan manusia. Sebagai alat, adanya negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela prinsip persatuan adama dengan negara.
Dalam menangani dan mengatur masalah-masalah sosiopolitik umat, diantara prinsip yang penting yang harus diikuti dan dihormati, menurut Natsir, adalah prinsip syura. Tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura, menurut Natsir, semuannya tergantung pada ijtihad ummat Islam, karena Islam tidak menetapkan secara kaku dan pasti.[4] Juga seperti halnya penulis-penulis dan pemimpin-pemimpin modernis di negeri Islam yang lain, Natsir adalah seorang demokrat yang gigih, sekalipun tidak selalu senang dengan praktek sistem demokrasi barat. Islam tampaknya, Natsir berdalil, adalah sintesa antara demokrasi dan otokrasi atau sistem politik diktatorial. Tetapi bagaimana sintesa yang unik ini beroperasi, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara meyakinkan.
Zainal Abidin Ahmad
Tidak berbeda dengan Natsir, Ahmad juga seorang pembela demokrasi yang gigih. Tetapi berbeda dengan Natsir, Ahmad tidak berpendapat bahwa sistem politik Islam adalah suatu sintesa antara demokrasi dan semacam sistem politik diktatorial. Selain itu Ahmad tidak pernah membela konsep Kedaulatan Tuhan seperti yang dengan penuh semangat diteorikan oleh Maududi maupun Khomeini.[5] Ahmad malah menafsirkan terma al-Quran ulu ‘l-amr (IV: 59) sebagai wakil-wakil rakyat yang dipilih untuk dewan-dewan perwakilan, karena terma ini diikuti dengan ungkapan minkum (dari kalanganmu) yang berarti mereka yang kamupilih. Prinsip ini menurut Ahmad tidak lain adalah demokrasi. Disini Ahmad mengajukan butir pendapat yang menarik. Dari perkataan minkum, ia menarik prinsip demokrasi, padahal penulis-penulis modern lainnya menariknya dari ajaran syura.[6] Sekalipun Ahmad juga pernah menyebut tentang kekuasaan Tuhan, namun tampaknya yang dimaksudnya adalah kekuasaan mutlak Tuhan atas seluruh alam semesta; jadi tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan politik manusia sebagaimana dipahami pada masa modern ini. Penulis ini bahkan membela teori J.J. Rousseau tentang kedaulatan rakyat (volkssouvereniteit).
Menurut Ahmad, dalam suatu Negara Islam, rakyat mempunyai 2 hak konstitusional yang pertama adalah hak untuk membuat konstitusi dan yang kedua adalah hak untuk memilih kepala Negara. Jadi menurut Ahmad kedaulatan tertinggi suatu Negara Islam berada sepenuhnya ditangan rakyat. Inilah tampaknya yang menjadi inti teori konstitusional demokratisnya Ahmad.
Muhammad Asad
Teori Muhammad Asad tentang Negara Islam mempunyai banyak persamaannya dengan pandangan penulis modernis Indonesia, sekalipun Asad mengambil Pakistan sebagai basis empiris bagi perumusan teori politiknya. Bagi Asad, yang sebelum memeluk Islam bernama Leopold Weiss ini, suatu Negara dapat menjadi benar-benar Islami hanyalah dengan keharusan pelaksanaan yang sadar dari ajaran Islam terhadap kehidupan bangsa, dan dengan jalan menyatukan ajaran itu ke dalam Undang-undang Negara.[7] Menurut kerangka berpikir ini, suatu Negara yang dihuni oleh mayoritas muslim seperti halnya Indonesia tidak otomatis menjadi Negara Islam kecuali bila ajaran Islam tentang sosiopolitik dilaksanakan dalam kehidupan rakyat berdasarkan konstitusi. Inilah tema sentral dari teori politik Asad.
Dalam penolakan terhadap bentuk Negara sekuler, Asad berdalil: “….dalam suatu Negara sekuler moderen, tidak ada norma baik dan buruk, dan yang betul dan salah. Satu-satunya kriterium yang mungkin ialah kepentingan bangsa”. Mengenai apa yang merupakan kepentingan bangsa yang paling utama, dalam suatu Negara sekuler, golongan-golongan rakyat yang berbeda boleh mempunyai pendapat-pendapat yang jauh berlawanan, karena disitu tidak ada timbangan objektif mengenai nilai-nilai moral. Sebaliknya dalam suatu Negara Islam, menurut Asad, nilai-nilai moral ini tidak berubah dari satu kasus ke kasus yang lain atau dari waktu ke waktu, tetapi validitasnya tetap bertahan buat seluruh waktu dan kondisi.
Adapun mengenai sumber kedaulatan Negara, Asad tampaknya menempuh jalan tengah antara kubu Maududi – Khomeini dan golongan modernis. Pada satu pihak, ia mempertahankan dan membela hak-hak rakyat untuk memerintah. Pada sisi lain, mungkin karena kurang tepatnya memahami ayat al_Quran: “Katakan, Ya Allah! Pemilik kekuasaan! Engkau berikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan engkau tarik kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan diapa yang Engkau kehendaki. Ditangan Engkau segala kebajikan. Sesungguhnya engkau berkuasa atas segala sesuatu” (III: 26), Asad sampai pada kesimpulan: “….maka Negara Islam- yang... eksistensinya tergabung kepada kemauan rakyat dan ia berhak dikontrol olehnya – mendapatkan kedaulatannya pada akhirnya dari Tuhan.[8] Tetapi sebenarnya apa yang dimaksudkan dengan kedaulatan Tuhan itu tidak lain dari kedaulatan syari’ah atas seluruh warga Negara suatu Negara Islam. Dari argument ini Asad selanjutnya secara kurang kritis berbicara tentang konsep taat di pihak rakyat, berdasarkan suatu hadits dari al-Bukhari dan Muslim. Hadits itu berbunyi: “ Siapa yang menaati ku berarti menaati Allah; dan barangsiapa membangkan ku berarti membangkan Allah; dan barangsiapa menaati amir (kepala Negara) berarti menaati ku, dan barangsiapa membangkan amir berarti membangkang ku”. Dengan dasar hadits ini, seakan-akan Asad ingin mengatakan bahwa perlawanan dalam bentuk apapun terhadap penguasa sederajat dengan perlawanan terhadap prinsip-prinsip syari’ah.
Bentuk Pemerintahan
Bentuk pemerintahan tidaklah terlalu penting dalam Islam. Yang lebih penting ialah agar pemerintahan dapat berjalan dan berfungsi secara baik. Tetapi islam lebih memilih bentuk republik dibandingkan dengan bentuk monarki.
Islam dalam konteks ketatanegaraan lebih mendekat kedalam konsep republik yang demokratis, daripada sistem pemerintahan yang monarkial. Cita-cita dari konsep republik yang demokratis sejalan dengan cita-cita Islam.
Dengan mendasarkan proporsinya atas teori Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, ditafsirkan priode al-Khulafa al-Rasyidun (632-661 M) dalam sejarah Islam secara esensial adalah periode republik.
Mengenai tegaknya suatu pemerintahan yang stabil, Abdulrahman Ismail (Masyumi) mengusulkan tiga kualifikasi yang saling berkaitan, yang harus dipenuhi oleh penguasa dan rakyat, yaitu :
- Keadilan dari penguasa.
- Ketaatan dari rakyat.
- Adanya musyawarah antara penguasa dan rakyat.[9]
Dalam perspektif pengertian konsep syura, ummat islam Indonesia lebih maju ketimbang ummat Islam di negara-negara lain. Mereka hampir-hampir tidak mempunyai masalah dalam melaksanakan demokrasi moderen, sekalipun di antara mereka cukup kritis membaca praktek-praktek demokrasi barat yang terlalu bebas.[10]
Demokrasi Islam vs Demokrasi Barat
Apabila melihat corak sistem demokrasi, hal pertama yang akan dibicarakan adalah corak pemerintahannya yang bersifat terbuka. Penyataan ini membawa arti kerajaan yang terbentuk dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan. Pemimpin yang dipilih dengan jumlah mayoritas, bertanggungjawab memegang amanah sebagai pemimpin kepada rakyat yang memilihnya. Jika demikian, definisi yang diberikan adalah bertepatan dimana istilah sebenar demokrasi adalah berasal dari dua kata Greek yaitu ‘demos’ yang berarti rakyat dan ‘kratein’ yang berarti memerintah. Oleh karena itu arti demokrasi secara bahasa adalah pemerintahan oleh rakyat.[11]
Secara umumnya, sistem demokrasi yang didukung mayoritas negara-negara penganutnya merupakan satu sistem dimana rakyat diberikan mandat mutlak dalam menggubah undang-undang. Rakyat berhak menentukan segalanya sehingga mereka berhak menghapus ataupun menciptakan undang-undang yang mungkin tidak bertepatan dengan norma dan adat kebudayaan bahkan agama sekalipun. Menurut catatan sejarah, sistem demokrasi Barat yang pertama di dunia adalah dipakai oleh kerajaan Perancis pada peristiwa Revolusi Perancis pada tahun 1789. Segalanya berawal akibat reaksi dan peperangan melawan teori kekuasaan mutlak yang dipegang oleh pemimpin agama Kristian Katolik yang menjadi sistem pemerintahan negara Eropa selama sepuluh. Menurut teori tersebut, raja yang memerintah ‘diikat’ oleh pemimpin agama yang kononnya merupakan ‘wakil tuhan’ yang membawa amanat tuhannya. Akibatnya, raja yang memerintah diberikan kuasa mutlak dengan didampingi pemimpin-pemimpin agama tadi.[12]
Kesan daripada sistem tersebut, rakyat Eropa pada masa itu menderita. Bagi mencari jalan penyelesaian, mereka bersetuju dengan satu sistem dimana hak memimpin suatu negara merupakan hak mutlak rakyat negara tersebut. Bertitik tolak pada peristiwa tersebutlah lahirnya sistem demokrasi yang ada sekarang hasil dari pemberontakan dan rasa tidak puas rakyat ketika itu. Peralihan sistem itu bukanlah satu cara penyelesaian yang sukses. Malahan menurut sejarah, ia merupakan satu sejarah hitam yang mengorbankan banyak nyawa dan merupakan salah satu revolusi berdarah dalam catatan sejarah dunia dengan mottonya “hang the last king by the intestines of the last priest”.
Walaupun begitu Emmanuel Kant (1724-1804) melalui tesisnya yang bertajuk ‘Perpetual Peace’ menegaskan bahawa “democracies are inherently less warlike than autocracies because democratic leaders are accountable to the public, which restrains them from waging war. Because ordinary citizents would have to supply the soldiers and bear the human and financial costs of imperial policies, he contended, liberal democracies are ‘natural’ forces for peace ( Keagler & Wittkopf,1993:67).
Menurut Kant dalam terjemahannya, demokrasi merupakan sistem kerajaan yang tidak bersifat keras kerena pemimpin yang dipilih melalui sistem demokrasi adalah melalui pilihan mayoritas rakyat sendiri. Islam merupakan satu agama yang mempunyai prinsip keimanan yang tinggi kepada tuhan, mengasaskan sebuah negara itu berdasarkan kekuasaan Allah S.W.T dan manusia ditugaskan sebagai khalifah.[13] Amalan-amalan di dalam demokrasi anjuran Islam merujuk pada Al-Quran dan Sunnah (Dr. Lukman Thaib, 1995:8 dipetik dari artikel internet).
Menurut Al-Maududi (penganut dan bekas pemimpin Jamaat Islami Pakistan), istilah teo-demokrasi lebih tepat bagi sebuah negara Islam. Ini karena di dalam sebuah negara demokrasi Islam, rakyat akan memerintah berlandaskan hal-hal yang ditentukan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Beliau telah menggariskan tiga prinsip utama dalam sebuah negara Islam yaitu:
1. Tidak ada orang, golongan atau kumpulan di mana seluruh penduduk yang memimpin sebuah negara sekalipun boleh menyatakan mempunyai kekuasaan dan kedaulatan. Hanya Allah s.w.t pemilik kekuasaan dan kedaulatan yang sebenar. Semua yang lain adalah hamba-Nya.
2. Allah S.W.T pengubah undang-undang yang sebenarnya dan kuasa mutlak membuat undang-undang adalah milik-Nya. Orang-orang Islam tidak boleh membuat undang-undang yang bertentangan dan tidak boleh mengubah undang-undang yang ditetapkan oleh-Nya walaupun semua orang setuju untuk membuat undang-undang lain atau mengubah undang-undang Allah S.W.T.
3. Sebuah negara Islam haruslah diasaskan di atas hukum yang diwahyukan tuhan dalam segala segi dan ruang lingkupnya. Kerajaan yang memerintah sebuah negara Islam hanya boleh ditaati dalam tugasnya sebagai badan politik yang dibentuk untuk melaksanakan undang-undang Allah S.W.T, apabila ia melanggar undang-undang yang diturunkan Allah S.W.T, perintahnya tidak wajib ditaati oleh orang-orang Islam.[14]
Jelas ditunjukkan di sini bahwa rakyat diberi tanggungjawab sebagai khalifah atau pelaksana hukum Allah S.W.T berlandaskan ajaran agama Islam yang didasarkan Al-Quran dan Sunnah. Dalam konteks ini, manusia sebagai khalifah tidak memiliki hak melaksanakan suatu hukum undang-undang ciptaan sendiri selain undang-undang Allah S.W.T apalagi memalsukannya.
Di dalam demokrasi Islam, prinsip Syura amatlah dititikberatkan. Syura di sini adalah kata nama daripada perkataan “al-Musyawaratun” atau “Watasyawarun” yang membawa arti mengutarakan pendapat. Definisi tersebut jelas menunjukkan bahwa pendapat diutamakan di dalam sebuah permasalahan. Melalui prinsip ini peranan umat atau rakyat Islam adalah penting di dalam perlaksanaan dan pembuatan sesuatu dasar yang berlandaskan al-Quran.[15]
Prinsip ini adalah bertepatan dengan sabda Rasulullah SAW yang berisi “Seorang Islam dengan seorang Islam yang lain diibaratkan seperti bahagian pada satu bahagian, setiap satunya (bahagian) menguatkan bahagian yang lain”. Selain sistem Syura, terdapat satu lagi cara atau sumber ketiga yang menjadi pegangan dalam perlaksanaan suatu undang-undang Islam yiaitu ‘ijma’. Ijma ditafsirkan sebagai persetujuan umat Islam tentang soal agama. Merupakan persetujuan pendapat orang yang timbul sama secara rasional ataupun mengikuti hukum.
Rasulullah SAW merupakan contoh terbaik dalam pelaksanaan sistem demokrasi Islam. Demokrasi yang didukung Rasululllaah SAW ketika itu tidak sama sekali menindas hak rakyat. Namun demikian, hak tersebut terbatas menurut batasan yang ditentukan oleh Allah SWT. Soal penafsiran dan perkara yang tidak ditetapkan oleh syariah diselesaikan melalui musyawarah dikalangan ulama dan pemimpin Islam.
Dapat disimpulkan di sini bahwa demokrasi yang berprinsipkan Barat yang menganut kuasa mutlak rakyat adalah berbeda dengan negara yang berdemokrasikan prinsip Islam. Perbedaan tersebut berdasarkan pegangan agama yang menggariskan batasan tertentu dan undang-undang yang wajib diikuti termasuk syariat yang telah ditetapkan-Nya.
Negara-Negara Islam dan Hubungan Internasional
Salah satu topik yang menjadi perhatian dalam Islam adalah hubungan antara manusia dan bagaimana individu saling berinteraksi satu sama lain dalam masyarakat. Di era modern ini, hubungan antara individu dapat terjalin dalam skala yang luas, dan hubungan antar negara memiliki fungsi yang lebih besar. Dalam hal ini, muncul pertanyaan, apakah Islam juga memiliki prisnsip dan ajaran mengenai hubungan antara bangsa?
Bila kita meninjau ajaran Islam, kita akan melihat bahwa ajaran samawi ini tidak hanya mengatur hubungan antar manusia, melainkan juga memberikan bimbingan dalam hal hubungan antara berbagai pemerintah atau negara. Prinsip ini dalam era awal Islam dilaksanakan oleh Rasulullah SAW dan setelah wafatnya beliau, kurang-lebih prinsip ini diterapkan oleh pemerintahan-pemerintahan Islam.[16]
Dalam Islam, bentuk hubungan di antara pemerintahan muslim memiliki perbedaan dengan hubungan di antara pemerintahan muslim dengan pemerintahan non-muslim. Al Quran menyebut semua muslim sebagai “umat wahidah” atau umat yang satu. Dalam pandangan konsep seperti ini, idealnya seluruh kaum muslimin di dunia berada di bawah satu pemerintahan, yaitu pemerintahan Islam. [17]
Allah SWT telah memerintahkan pemerintahan kaum muslimin agar meletakkan kepentingan Islam dan umat Islam di atas kepentingan ras atau etnis tertentu. Bila perintah Allah ini dipatuhi, dunia Islam akan memiliki kekuatan dan persatuan yang lebih besar. Kekuatan dan persatuan ini akan menciptakan pemerintahan Islam yang kuat dan terhormat. Dengan kata lain, jika pemerintahan di negara-negara Islam sama-sama melindungi kepentingan kaum muslimin dan dunia Islam, pada saat yang sama, mereka sesungguhnya telah melindungi kepentingan negara mereka sendiri.
Dalam berbagai ayat dan riwayat Islam disebutkan seruan kepada kaum muslimin untuk saling membantu dan bekerjasama satu sama lain. Misalnya, dalam Al Quran surat At-Taubah ayat 71 disebutkan, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebahagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebahagian yang lain.” Dalam surat Al Hujurat ayat 10, Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut. ”Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” Dari kedua ayat tadi dapat disimpulkan adanya satu prinsip bahwa berbagai pemerintahan muslim yang berkuasa atas jutaan kaum muslimin di dunia harus memiliki hubungan yang dekat satu sama lain, serta menjalin kerjasama yang luas, baik di bidang politik, budaya, ekonomi, militer, maupun keilmuan.[18]
Sebagaimana yang tadi telah kami sebutkan, Islam memandang kaum muslim sebagai umat yang satu. Oleh karena itu, pemerintah negara-negara muslim seharusnya memegang teguh prinsip ini dan bersama-sama berusaha untuk mewujudkan persatuan tersebut. Salah satu langkah utama dalam mewujudkan persatuan di antara ummat Islam adalah dengan menegakkan keadilan di tengah negara masing-masing. Bila di sebuah negara keadilan telah ditegakkan, masyarakat di negara itu akan memiliki sifat adil dalam jiwa mereka. Pada gilirannya, sifat adil ini akan membuka peluang terjalinnya hubungan yang saling menghormati dan saling setia di antara negara-negara Islam.
Sementara itu, di dunia ini juga banyak berdiri pemerintahan non-Islam. Islam telah menyediakan bimbingan bagi negara-negara Islam dalam hal menjalin hubungan dengan negara-negara non-muslim ini. Islam adalah agama yang berlandaskan fitrah manusia, salah satunya adalah keinginan untuk selalu berdamai dan bersahabat. Oleh karena itu, selama negara-negara non-muslim itu bersikap damai dan tidak melancarkan kekerasan, maka negara-negara muslim pun diwajibkan untuk menjalin persahabatan dan perdamaian dengan mereka. Hubungan yang dijalin antara negara muslim dengan negara non-muslim haruslah didasarkan pada sikap adil, saling menghormati, dan kesetiaan pada perjanjian yang telah dijalin.
Berkaitan dengan hubungan antara negara Islam dengan negara non-Islam, ada beberapa ayat Quran yang dapat dijadikan rujukan, di antaranya surat Al Mumtahanah ayat 8 yang artinya sbb. “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Dari ayat ini bisa disimpulkan bahwa pada prinsipnya, selama negara-negara non-muslim bersikap damai, negara-negara Islam dapat menjalin hubungan dengan mereka.[19]
Prinsip lain yang diajarkan Islam dalam menjalin hubungan dengan negara-negara non-muslim adalah prinsip tidak memihak. Tentu saja prinsip ini tidak bermakna sebagai sikap tidak peduli, melainkan sikap tidak mencampuri urusan internal negara-negara lain. Berdasarkan bukti-bukti sejarah, setelah mendirikan pemerintahan di Madinah, Rasulullah SAW menjalin perjanjian dengan kabilah-kabilah non-muslim untuk selalu bersikap tidak memihak. Dengan cara ini, pemerintahan Islam menjadi semakin kuat karena tidak dicampuri oleh pihak luar. Sebaliknya, pemerintahan Islam juga tidak melakukan campur tangan atas urusan internal negara lain.
Meskipun Islam mengajarkan agar negara-negara Islam menjalin hubungan damai dengan negara-negara non-muslim, namun Islam pun juga mengajarkan agar negara-negara Islam menolak tegas segala bentuk imperialisme dan tipuan yang dilancarkan oleh negara-negera non-muslim. Hubungan yang dijalin antara negara muslim dengan negara non-muslim tidak boleh mendatangkan dampak-dampak negatif bagi negara muslim, apalagi bila berujung pada hagemoni negara non-muslim terhadap negara muslim. Dalam Al Quran surat An-Nisaa’ ayat 141, Allah berfirman, yang artinya sebagai berikut. “Allah sekali pun tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.”
Bila negara-negara muslim mengamalkan segala aturan yang telah ditetapkan Islam dalam hal hubungan internasional, sudah pasti negara-negara muslim akan memiliki posisi yang terhormat dan tidak akan menjadi korban penindasan negara-negara non-muslim. Selain itu, perdamaian akan terwujud di muka bumi dan negara-negara muslim dan non-muslim akan berdiri berdampingan dengan saling menghormati.
Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam
HAM adalah masalah umat manusia sepanjang sejarah, walaupun pada zaman modern ini secara resminya baru diaukui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam agama Islam, ada asas bahwa yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Berarti semua manusia adalah sama.
Agak sulit untuk menulis dari mana dan sejak kapan HAM muncul dalam pembicaraan sejarah. Meskipun tidak menyebutkan sebagai HAM, tetapi sejak abad ke-7 prinsip-prinsip HAM itu sudah tertuang dalam banyak ayat Al-Quran.
Ash-Shiddieqy menyimpulkan tiga kemuliaan yang dianugerahkan Tuhan kepada jenis manusia tanpa memandang latar belakang etnis, agama, dan aspirasi politik. Ketiga kemuliaan itu ialah :
- Kemuliaan pribadi (karamah fardiyah)
Dalam arti Islam memelihara kepribadian ma’nawi dan kepribadian materiil (maddy) manusia.
- Kemuliaan masyarakat (karamah ijtimaiyah)
Di dalamnya status persamaan manusia dijamin sepenuhnya.
- Kemuliaan politik (karamah siyasiyah)
Islam memberikan semua hak-hak politik kepada manusia untuk memilih atau dipilih bagi posisi-posisi politik, karena ia adalah khalifah Tuhan di bumi.[20]
Ash-Shiddieqy juga menjelaskan tentang lima prinsip dasar tentang hak-hak asasi dalam Islam yang perlu dikaji lebih jauh.
Pertama, hak hidup dan keselamatan diri, serta hak untuk memperoleh perlindungan diri, kehormatan dan harta. Seperti yang tertuang dalam surat V: 32 dan surat VI: 151 serta masih banyak lagi. Dalam prinsip hak untuk hidup terkandung setidak-tidaknya dua lagi hak pelengkap, yaitu hak untuk merdeka dan hak untuk memperoleh perlindungan bagi rumah tangga.
Kedua, hak merdeka beragama dan menganut sesuatu paham. Hak ini mempunyai dua prinsip yang saling berkaitan, yaitu :
- Setiap oarang wajib menghormati hak-hak orang lain dalam menganut agama dan kepercayaan yang dikehendakinya.
- Al-Quran memberikan tekanan kuat agar seorang muslim jangan memaksa orang yang sudah beragama lain untuk menjadi muslim.
Ketiga, hak mempunyai hak milik dan fungsi sosial dari hak milik itu, di mana posisi Islam cukup jelas, laki-laki maupun perempuan mempumyai hak untuk mencari harta serta memelihara harta itu.
Keempat, hak memilih pekerjaan yang sesuai bagi kemanusiaan.
Kelima, hak kemerdekaan berpikir, mengeluarkan pendapat, dan hak memperoleh pengajaran dan pendidikan. Islam memberikan hak untuk menyatakan pendapat secara bebas kepada setiap orang tanpa kecuali. Pembatasan kemerdekaan menyatakan pendapat hanyalah diperbolehkan untuk menjaga masyarakat dari suasana permusuhan yang sisebabkan oleh kata-kata keji yang dilontarkan.[21]
Salah satu di antara prinsip HAM di dalam Islam menyebutkan bahwa semua kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Pemimpin memiliki tanggung jawab untuk berlaku adil, yaitu menjamin bahwa apa dan siapa pun yang dipimpinnya akan mendapatkan semua haknya tanpa terkecuali. Dan karena semua orang adalah pemimpin, maka semua orang wajib menjamin hak-hak apa dan siapa saja.
Pancasila
Setelah banyak berbicara tentang Islam dan hubungannya dengan poltik, selanjutnya perlu diamati dengan kritis perdebatan ideologi Islam dan Pancasila. Agar analisanya cukup adil dan objektif, maka suatu kajian tentang Pancasila itu sendiri perlu dilakukan.
Penggali Pancasila adalah Sukarno, Presiden Indonesia yang pertama. Perkataan majemuk Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti lima batu karang atau lima prinsip moral dan terdapat dalam buku Negarakertagama.
Apakah Pancasila suatu falsafah Negara atau hanya suatu persetujuan politik. Profesor Sultan Takdir Alisjahbana menyatakan bahwa adalah berlebih-lebihan untuk menganggap Pancasila sebagai suatu falsafah negara karena bukan saja sila-silanya bersifat heterogen tetapi juga Pancasila itu sendiri tidak bebas dari kontradiksi dalam dirinya. Menurutnya Pancasila sebagai dasar Negara adalah suatu kompromi politik yang telah menolong bangsa Indonesia dalam menghadapi saat kritis dan menentukan dalam sejarahnya.[22]
Menurut Natsir, Pancasila bersifat sekuler karena sumber sila-silanya bukanlah wahyu Allah. Berbeda dengan takdir, Ruslan Abdul Ghani (PNI) memandang bahwa dasar negara adalah suatu prinsip dasar, yang merupakan jiwa dari seluruh ayat dalam konstitusi dan perundang-undangan serta peraturan-peraturan lainnya.[23] Ia menolak pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila tidak memiliki suatu kesatuan logika. Menurutnya Pancasila adalah sebuah sintesa dari gagasan-gagasan Islam modern, ide demokrasi, marxisme, dan gagasan-gagasan demokrasi asli seperti yang dijumpai di desa-desa dan dalam komunalisme penduduk asli.
Menurut Abdul Ghani, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila tidak dapat disamakan dengan konsep sekulerisme. Teori Kahin yang diambil alih oleh Abdul Ghani bahwa Islam adalah salah satu sumber Pancasila hanyalah dapat diterima oleh sebagian anggota majelis, sekalipun menurut sensus sebagian besar anggotanya adalah muslim. Tetapi bagi mereka, agama belum tentu mempunyai kaitan dengan nilai-nilai praktis dalam kehidupan mereka. Inilah yang dimaksud Natsir dengan sekulerisme, karena teori sekuler tentang pemerintahan hanyalah konsekuensi logis belaka dari suatu pandangan dunia sekuler. Hingga saat ini, suatu tafsir yang lebih mendalam dan tuntas tentang Pancasila belum dilakukan sekalipun dengan dasar negara maka UUD 1945 adalah tafsirannya. Dengan demikian Pancasila masih terbuka bagi bermacam-macam tafsiran filosofis.
Menurut Hatta, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila merupakan sila pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua yang baik bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradad” adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktek. Begitu juga dengan sila ketiga dan sila keempat. Sedangkan sila kelima, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, menjadi tujuan terakhir dari ideolog Pancasila. Inilah inti pendapat Hatta tentang Pancasila. Sekalipun tidak terang-terangan mengatakan bahwa pendapatnya itu diambilkan dari ajaran Islam, namun pengertian Pancasila semacam ini hanyalah mungkin karena Hatta adalah seorang muslim yang taat dan konsisten.[24]
Mengenai sila kerakyatan atau demokrasi, Hatta yakin bahwa demokrasi akan hidup selama-lamanya di Indonesia, sekalipun telah mengalami nasib pasang surut. Menurutnya sumber demokrasi di Indonesia ada 3 yaitu:pertama, sosialisme barat yang membela prinsip-prinsip humanisme dan prinsip-prinsip ini dipandang juga sebagai tujuan. Kedua, ajaran Islam yang memerintahkan kebenaran dan keadilan Tuhan dalam masyarakat. Ketiga, pola hidup dalam bentuk kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia.[25]
Sejak dari Soekarno sampai kepada Ruslan Abdul Ghani, sulit sekali ditemukan di antara pembela Pancasila yang mengatakan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sumber moral dan etik dari sila-sila yang lain. Inilah nampaknya di antara alasan utama mengapa suatu kompromi politik tentang dasar Negara sulit sekali dicapai.
Sebagaimana terlihat dari kritik Hatta terdahulu, kelompok Islam tetap mempertahankan dasar Islam bagi Negara Indonesia. Menurut mereka ajaran Islam, jauh lebih unggul untuk dijadikan pegangan hidup bernegara bila dibandingkan dengan Pancasila atau falsafah ideologi manapun. Menurut Asman Singodimedjo (Masyumi), Pancasila tidak dapat dibandingkan dengan Islam karena Pancasila adalah buatan manusia sedangkan Islam adalah ciptaan Allah, maka Islam itu adalah serba sila termasuk Pancasila, sedangkan Pancasila hanya terdiri dari lima sila.
Dalam perspektif sejarah superioritas Islam, menurut Hamka (Masyumi), perjuangan untuk menegakkan suatu negara berdasarkan Islam sudah merupakan cita-cita sejak lama dari semua gerakan Islam di yaitu sejak abad 19. Dalam arti pelestarian sejarah, argument Hamka di atas mengandung kebena.ran. Memang sebagian besar pahlawan-pahlawan nasional Indonesia adalah muslim. Tetapi isu krusial yang dihadapi majelis konstituante ialah apakah umat Islam Indonesia jika sekiranya mereka menang dalam suatu pemilihan umum, misalnya sudah siap secara intelektual untuk menangani suatu negara modern di atas dasar hukum Islam yang diwariskan dari abad-abad pertengahan.
Dekrit Soekarno dan Latar Belakangnya
Dekrit 5 Juli 1959 di samping mengukuhkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Majelis Konstituante, juga menandai datangnya sistem politik yang disebut Demokrasi Terpimpin, sekalipun ide-ide pokoknya telah disuarakan Sukarno sejak permulaan tahun 1957. Dekrit 5 Juli telah mengakhiri secara formal periode Demokrasi Parlementer yang dimulai secara konstitusional sejak tahun 1950 di bawah naungan UUD 1950.
Setelah Majelis Konstitusional dibubarkan, ummat islam berpecah kembali. Kelompok pesantren bersama dengan partai-partai Islam kecil lainnya menyertai Demokrasi Terpimpin, sampai sistem ini hancur pada akhir tahun 1965.
Gagasan untuk kembali ke UUD 1945 sebenarnya bukan berasal dari Soekarno. A.H. Nasution, misalnya telah berulang kali menyatakan hal itu sejak tahun 1954.[26] 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya di depan Majelis Konstituante dengan judul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica”. Pidato ini pada prinsipnya meminta dengan sangat agar majelis mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh gagasan untuk kembali kepada UUD 1945 sebagai yang dirumuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Diharapkan bilamana usul tentang kembali kepada UUD 1945 disetujui, perdebatan sengit tentang dasar negara akan dapat diakhiri.
Setelah menyampaikan pidato, Soekarno pergi ke luar negeri sambil meninggalkan di belakangnya kegaduhan politik dan perdebatan hangat dalam majelis.[27] Dalam kenyataannya, situasinya jauh lebih kompleks dan usul Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 gagal memperoleh suara mayoritas mutlak. Pada waktu itu partai-partai Islam dalam majelis tetap kompak menolak gagasan kembali ke UUD 1945 yang tidak mencantumkan secara eksplisit prinsip-prinsip Islam sebagaimana yang tertera dalam Piagam Jakarta. Solidaritas kelompok Islam yang kukuh ini diamati oleh kelompok modernis dibawah pimpinan Prawoto Mangkusasmito, Wakil Ketua Majelis. Prawoto dipandang telah berhasil mempengaruhi partai-partai Islam lainnya, terutama NU, untuk menentang usul Soekarno.[28]
Sekalipun partai-partai Islam yang lain secara berangsur melunakkan oposisinya terhadap move Soekarno, namun mereka, berkat pendekatan Mangkusasmito, masih bersama Masyumi dalam perjuangan untuk menyertakan beberapa prinsip pokok Islam ke dalam UUD, terutama apa yang sudah ada dalam Piagam Jakarta tentang pelaksanaan syari’ah. Perjuangan tahap terakhir ini dipelopori oleh NU, sedang Masyumi tinggal menyokongnya, sekalipun tidak berhasil juga.
Tanggal 2 Juni 1959, Majelis Konstituante mengadakan pemungutan suara dalam rangka kembali ke UUD 1945 tapi dengan dua formulasi. Hasil pemungutan suara ialah 263 setuju dengan usul Presiden untuk kembali ke UUD 1945, dan 206 menentangnya, yaitu dari wakil-wakil Islam yang mengingkan anak kalimat Piagam Jakarta dimasukkan kedalam UUD 1945. Dari hasil pemungutan suara ini jelas terlihat bahwa baik pendukung Pancasila maupun pendukung dasar Islam sama-sama gagal memperoleh suara mayoritas multak (2/3) dari anggota yang hadir. Kegagalan inilah yang dipakai alasan pokok Soekarno mengeluarkan dekritnya itu.
Diantara konsiderasi dekrit itu berbunyi : “… bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Tercantumnya konsiderasi sangat penting ini jelas merupakan, suatu kompromi politik lagi antara pendukung dasar Pancasila dan pendukung dasar Islam.
Selain wakil-wakil Islam, ada pula pemimpin-pemimpin terkemuka dan penulis-penulis yang menentang Dekrit Soekarno. Mohammad Hatta misalnya, mengatakan bahwa tindakan Soekarno itu “bertentangan dengan Pancasila”. Karena jelas-jelas merobek-robek prinsip demokrasi yang begitu kukuh tercantum dalam UUD. Bahkan sebenarnya juga tidak sejalan dengan prinsip gotong royong yang begitu secara verbal diagungkan Sukarno.
Memang Dekrit Soekarno yang diikuti pelaksanaan Demokrasi Terpimpin telah menyumbat saluran legal bagi umat Islam, terutama kelompok modernis, untuk menyatakan ide-ide dan aspirasi politik mereka. Dengan tidak mengabaikan kekurangan-kekurangan demokrasi liberal, umat islam mempunyai kemerdekaan politik yang penuh selama periode ini. Karena Demokrasi Terpimpin juga bertanggungjawab bagi jatuhnya kekuatan politik Islam di Indonesia.
Demokrasi Terpimpin
Menurut pengamatan Soekarno, pada masa demokrasi liberal rakyat ditunggangi pemimpin, rakyat menjadi alat demokrasi.[29] Dengan kata lain, demokrasi liberal dan UUD 1950 yang memayunginya dipandang sebagai penyimpangan dari cita-cita revolusi Indonesia. Karena itu revolusi harus kembali kepada jalan aslinya dengan UUD 1945 sebagai sumber kekuatannya.
Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959 dengan judul “Pertemuan Kembali Revolusi Kita”, Presiden Soekarno mengatakan bahwa prinsip-prinsip dasar Demokrasi Terpimpin ialah : (1) tiap-tiap orang diwajibkan untuk berbakti kepada kepentingan umum, masyarakat, bangsa dan negara; (2) tiap-tiap orang berhak mendapat penghidupan yang layak dalam masyarakat, bangsa dan negara.
Penarikan garis tegas antara kawan dan lawan pada masa awal Demokrasi Terpimpin itu telah mempercepat proses kritalisasi dalam tubuh ummat sendiri. Proses ini semakin menjadi nyata pada waktu Soekarno membubarkan parlemen dan menggantinya dengan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR). Alasan pembubaran parlemen karena badan legislatif pilihan rakyat ini berani menolak Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan pemerintah Soekarno.
Anggota DPRGR yang dipilih dan ditunjuk oleh Soekarno sendiri sudah tentu terdiri dari mereka yang dipercayainya. Tokoh-tokoh Masyumi dan PSI sengaja tidak dimasukkan ke dalam DPRGR dengan alasan bahwa kedua partai ini simpati kepada pemberontakan daerah luar jawa.
Perintah Pembubaran Masyumi
Masyumi dikucilkan dari DPRGR pada bulan April 1960 dan diperintahkan bubar empat bulan kemudian. Salah satu alasan Soekarno untuk membubarkannya ialah karena partai itu dituduh “sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta melakukan dalam pemberontakan-pemberontakan atau telah jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”[30] Soekarno menghubungkan perintah pembubaran kedua partai ini (Masyumi dan PSI) dengan moral revolusi.
Sebagai hasil Pemilihan Umum 1955, kekuatan Masyumi terutama terdapat di luar Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan daerah-daerah kantong PNI, NU dan PKI. Di kedua propnsi ini Masyumi hanya memperoleh 25 persen dari suara yang diraihnya. Tetapi dari lima belas daearh pemilihan, Masyumi unggul sepuluh daerah, yaitu : Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan/Tenggara, dan Maluku. Mungkin karena luasnya daerah pengaruh Masyumi, seorang sarjana Amerika Serikat ahli Indonesia, Daniel S. Lev menyebut Masyumi sebagai “the most national party”. Persamaan yang kebetulan antara daerah-daerah pengaruh Masyumi dan daerah bergolak ternyata telah berakibat fatal bagi partai kaum modernis ini. Memang selintas lalu orang akan mudah menghubungkan Masyumi dengan aspirasi politik daerah bergolak. Tambahan lagi, memang tidak dapat disangkal bahwa banyak tokoh-tokoh Masyumi daerah yang turut serta dalam pemberontakan. Tokoh-tokoh Masyumi yang turut dalam pemberontakan itu ialah Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap. Tokoh-tokoh ini adalah bekas perdana menteri dan bekas Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia /PDRI (Prawiranegara). Tujuan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), yaitu pemerintah tandingan yang dibentuk daerah bergolak, menurut Sjafruddin Prawiranegara tidak lain dari berjuang untuk UUD dan memaksa Soekarno kembali kepada UUD 1950.[31]
Perbandingan kekuatan antara PRRI dan pemerintah Soekarno memang tidak seimbang. Dalam tempo yang tidak lama, pemberontakan mulai dilumpuhkan, dan ini menaikkan prestise Soekarno dan tentara pusat. Kekuatan PRRI kemudian beralih menjadi perlawanan gerilya yang tidak efektif, dan karenanya tidak tahan lama.
Prospek Dan Peluang
Tidaklah dapat disangkal bahwa Islam adalah agama yang hidup dan dinamis di Indonesia. Salah satu fenomen sosiologis yang patut disebutkan di sini ialah apa yang dikenal dengan dunia abangan, terutama di kalangan intelektual dan mahasiswa, sudah mulai apresiatif terhadap Islam. Soedjatmoko, pemimpin intelektual sosialis, adalah contoh yang menarik untuk dibaca.
Soedjatmoko pada masa yang lalu, sekalipun tidak pernah menunjukkan sikap tidak senang terhadap Islam, adalah seorang tokoh intelektual yang berorientasi Barat, mengikuti iparnya Sutan Sjahrir. Pandangan politiknya sekuler. Tetapi pada tahun-tahun belakangan ini, sebagai seorang intelektual kelas dunia, Soedjatmoko dikecewakan oleh efek sampingan negatif dari modernitas. Karena itu, ia meninjau kembali posisi intelektualnya berhadapan dengan modernitas, terutama posisi intelektualnya berhadapan dengan modernitas, terutama yang berkembang di Barat. Kemajuan ilmu dan teknologi ternyata tidak selamanya membawa keselamatan kepada umat manusia.
II. Periode Pasca Dekrit Presiden
Setelah dekrit , perdebatan tentang hubungan Islam atau syari’at Islam dengan Negara masih muncul di kalangan ulama mapun politisi. Sebagian politisi menganggap bahwa adanya kata menjiwai menunjukkan bahwa Piagam Jakarta masih eksis sementara bagi yang lain kata menjiwai tidak berarti Piagam Jakarta eksis. Ia hanya memberikan spirit saja. Pro-kontra dalam memaknai Pancasila setelah dekrit ini terus berlangsung sampai ada kesempatan untuk mengamandemen konstitusi.
Setelah jatuhnya regim otoriter Soeharto, dan untuk pertama kalinya UUD 1945 dimungkinkan untuk diamandemen, aspirasi politisi Islam yang ingin menembalikan “Piagam Jakarta” masih muncul. Akan tetapi sampai dengan amandemen keempat UUD 1945, upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak berhasil. Sungguhpun demikian upaya memasukkan norma-norma syari’at Islam kedalam undang-undang masih terus berlangsung.
Tantangan yang dihadapi umat Islam yang akan menetapkan syari’at Islam melalui institusi Negara
Sejak awal periode sejarah pembentukan hukum Islam, perdebatan tentang apakah hukum Islam perlu ditetapkan atau diundangkan oleh Negara sudah muncul. Upaya pertama dilakukan pada abad pertama, ketika khalifah dari Dinasty Umayah memohon kepada Imam Malik agar tulisan atau pandangan beliau tentang hukum Islam yang ada dalam kitab al-Muwatha ditetapkan oleh khalifah (Negara) sebagai satu-satunya buku standar untuk rujukan hukum Islam. Gagasan in mendapat inspirasi dari pendahulunya , Usman bin Affan , yang telah sukses menyatukan umat Islam dalam teks al-Qur’an yang seragam. Khalifah merasa , kiranya lebih maslahat bila umat Islam juga memiliki buku tentang hukum Islam yang seragam.
Secara halus Imam Malik menolak permohonan khalifah dengan menyatakan bahwa saya adalah manusia biasa yang memiliki keterbatasan dalam memahami hadits nabi. Apa yang saya himpun dalam kitab saya hanya sebagian dari hukum Islam. Para sahabat nabi telah meninggalkan Madinah dan pengetahuan tentang hukum Islam juga telah pergi menyertai mereka. Oleh karena itu kitab saya tidak memadai bila dijadikan sebagai satu-satunya standar. Sejak itu, hukum Islam hidup dan berkembang secara independen di luar mekanisme Negara. Setiap hakim memiliki kebebasan untuk memilih hukum Islam yang akan ia terapkan dan Negara tidak memiliki otoritas untuk mencampuri urusan mereka.[32]
Menetapkan norma-norma syari’at Islam melalui institusi Negara atau qanunisasi mengandung aspek positif dan aspek negatif. Aspek positifnya bisa memberikan standar hukum Islam yang relative seragam. Tapi aspek negatifnya bisa mengurangi kebebasan hakim dalam memilih ketentuan hukum Islam yang paling cocok untuk kasus tertentu yang dia hadapi. Dalam tradisi Islam klasik , hakimlah yang membuat hukum. Tradisi dan sejarah hukum Islam lebih mirip dengan tradisi Common Law ketimbang Continental law. Tidak pernah ada kodifikasi hukum dalam sejarah hukum Islam sampai akhir dinasti Usmani. Kodifikasi hukum Islam di akhir dinasti Usmani adalah akibat dari pengaruh Eropa Continental.
Dalam konteks Indonesia, hukum Islam yang cocok dengan daerah tertentu belum tentu cocok dengan daerah lain. Hukum Islam yang dirumuskan dalam kitab-kitab fiqih klasik juga belum tentu cocok dengan kondisi masa kini. Oleh karena itu qonunisasi atau orang menyebut formalisasi hukum Islam berpotensi mengekang perkembangan hukum Islam yang selalu berkembang akibat dibukanya pintu ijtihad. Sebab hukum Islam yang ditetapkan oleh Negara dalam bentuk qanun akan cepat ketinggalan zaman. Contohnya adalah Kompilasi Hukum Islam yang dilegalkan atau disahkan penggunaannya melalui instruksi presiden pada tahun 1991. Kompilasi yang baru berumur satu setengah dasa warsa ini telah menuai banyak kritik dari banyak intelektual muda Islam di Indonesia karena beberapa bagiannya sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Tantangan juga datang dari mereka yang tidak setuju diformalkannya hukum Islam melalui undang-undang Negara. Dengan diundangkannya hukum Islam melalui undang-undang Negara menjadikan pelaksanaan hukum Islam seoalah-olah tergantung pada Negara. Jusuf Kalla, saat memberikan sambutan pada seminar internasional bertema Translating Islam in the multicultural world for peace, justice and welfare menyatakan bahwa dirinya akan amat tersinggung kalau Perda-perda syari’at justru akan menjadikan kaum Muslim tidak lagi takut kepada Allah tapi lebih takut pada Bupati atau walikota jadi bukan ittaqu Allah tapi ittaqu Bupati.[33] Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tidak mendukung proyek legislasi syari’at Islam di daerah-daerah karena mereka lebih memilih hukum nasional.[34]
Hal ini karena mereka pada umumnya menyadari bahwa syari’at Islam sebenarnya lebih merupakan norma etika yang bersumber dari ajaran agama. Sebagai norma etik, Muslim baik secara individu maupun kolektif sebenarnya bisa menjalankan semua norma-norma etika yang ada dalam syari’at Islam tanpa adanya campur tangan atau paksaan penguasa.
Dalam kritiknya terhadap formalisasi syari’at Islam di Aceh Aguswandi menyatakan bahwa penerapan syari’at Islam yang konservatif di Aceh mesti jadi pelajaran bagi setiap orang. Kita mestinya tidak mengulangi kegagalan dan membiarkan kelomkpok konservatif mendikte syari’at Islam seperti yang terjadi di Aceh. Banyak di antara kita yang tidak menyadari betapa Islam di Aceh telah dieksploitasi sedemikian rupa oleh kelompok konservatif untuk mempromosikan sesuatu yang baru yakni type Islam yang menindas wanita , membatasi kebebasan berbicara , menerapkan aturan tingkah laku yang ketat yang sebenarnya bertentangan dengan tradisi lokal dan watak Islam itu sendiri.
Aturan yang menindas , diskriminatif dan membelenggu kebebasan sipil kalaupun ditetapkan melalui mekanisme atau prosedur demokrasi maka akan melahirkan apa yang disebut tyranny majority dan ini jelas akan menghambat perkembangan demokrasi yang sehat. Umat Islam yang memaksakan paham atau interpretasinya yang konservatif terhadap syari’at Islam akan dipandang sebagai pendukung authoritrianism dalam Islam.
Khaled Abou El-Fadl dalm bukunya Speaking in God’s name , Islamic Law, Authority and Women (2003) sebagiumana dikutip oleh M.Hilaly Basya mengatakan : “ Authoritarianism is the act of locking or captivating the will of Divine or the will of the text into the specific determination as inevitable , final and conclusive” . Menurut Abou El-Fadl problem interpretasi adalah authoritarianism. Authoritarianism akan semakin kuat bila ia didukung oleh kekuasaan atau regim dan elit agama yang sudah mapan atau terlembagakan. Authoritarianism semacam ini sering melayani kepentingan politik sebuah regim yang ingin mempertahankan ststus quo dan hegemoninya terhadap rakyat. Sikap seperti inilah yang akan menghancurkan peradaban Islam. Oleh karena itu kita harus mengkritisi otoritas yang dogmatic karena sepanjang pengalaman sejarah interpretasi yang dogmatic akan melahirkan kekerasan dan penindasan.[35]
Dalam bahasa M.Adhiatera authoritarianism bisa melahirkan apa yang disebut sebagai religious totalitarianism dengan ciri-ciri antara lain sebagai berikut. Pertama otoritas suatu regim didasarkan atas mandat suci “holy mandate” dari Tuhan sehingga masayarakat luas tidak boleh mempertanyakan legitimasinya karena ia berasal dari Tuhan. Sehinga penindasan tidak lagi dilakukan dengan senjata tapi melalui atau atas nama Tuhan. Ciri kedua , regim itu akan memaksakan ajaran agama secara ketat dan mengontrol cara rakyat mengamalkan agamanya. Ini semua akan memberi peluang bagi penyalahgunaan kekuasaan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan. [36]
Lily Zakiyah Munir , direktur CPDS ( Centre for Pesantren and Democracy Studies) saat diwawancarai oleh Yoginder Sikand , menyatakan penolakannya terhadap gagasan yang akan memaksakan syari’at melalui pemaksaan dengan memaksa orang untuk melakukan ini atau itu. Hal itu dinilainya tidak realistik bahkan tidak Islami karena al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa dalam urusan agama tidak boleh ada paksaan. Orang bebas untuk percaya atau tidak percaya. Memaksa orang agar mematuhi aturan hukum Islam tidak akan menambah kesalehan orang itu. Itu hanya akan menjadikan dia menjadi munafik. Pengendalian diri dan dorongan untuk mengikuti jalan hidup yang etis baik dalam Islam atau dalam agama lain harus melalui proses internalisasi. Itu harus datang dari dalam bukan dari luar. Itu tidak bisa dipaksakan kepadamu., katanya. Saya sendiri, katanya menambahkan, memakai jilbab bukan karena negara atau suami saya memaksa saya tapi karena saya sendiri mau memakainya.
Peluang yang diberikan oleh iklim demokrasi di Indonesia
Bila diperhatikan , suara-suara kritis terhadap formalisasi syari’at Islam sebenarnya bukan ditujukan semata-mata pada aspek legislasi atau formalisasinya tapi lebih ditujukan kepada model pemahaman yang konservatif dari syari’at Islam. Model konservatif dari syari’at Islam umumnya adalah hasil pemahaman atau hasil ijtihad ulama masa lalu terhadap syari’at Islam. Ijtihad ulama masa lalu tentang syari’at Islam memang sudah banyak yang tidak relevan dengan perkembangan masa kini. Suara kritis terhadap formalisasi syari’at Islam juga muncul karena formalisasi syari’at Islam terkadang merambah sampai mengatur cara hidup atau style of life yang bersifat pribadi seperti cara orang berpakaian yang sebenarnya bukan merupakan ajaran Islam yang pokok.
Hal-hal pokok yang mutlak perlu dilindungi oleh syari’at Islam menurut al-Syatibi ada lima : agama, jiwa , keturunan (kelangsungan generasi), harta dan akal . Menurut al-Syatibi, perlindungan terhadap kelima hal ini mutlak (dlaruriyyat), karena kelima hal ini diperlukan untuk tegaknya kemashlahatan agama dan dunia. Dlaruriyat dalam pandangan al-Syatibi adalah sesuatu yang bila tidak dijalankan maka akan timbul kekacauan dan kesulitan yang nyata.
Perlindungan terhadap agama , bagi umat Islam mengandung pengertian bahwa umat mesti dilindungi dalam menjalankan rukun atau kewajiban agamanya mulai dari syahadat, shalat, zakat, puasa sampai dengan haji. Perlindungan terhadap agama juga mengandung pengertian agar agama dijaga kelestariannya dan dilindungi dari hal-hal akan merusaknya. Demikian pula perlindungan terhadap jiwa, keturunan, harta dan akal. Adapun menutup aurat atau hal-hal yang berkaitan dengan kesopanan dan keluhuran budi pekerti masuk kategori tahsiniyat.[37]
Oleh karena itu jika yang diformalkan adalah prinsip-prinsip umum syari’at Islam yang bisa membawa kemaslahatan bagi semua golongan maka formalisasi syari’at Islam tidak akan menimbulkan masalah. Tapi jika umat Islam mau memformalkan hukum pidana Islam peninggalan masa lalu maka mereka harus berani melakukan reformasi dan reinterpretasi terhadap bagian-bagian yang sudah tidak relevan dengan perkembangan masa kini agar bisa diterima dan kiranya bisa membawa maslahat bagi semua orang. Hukuman rajam (dilempari batu sampai mati) dan hukuman potong tangan tidak mungkin bisa diundangkan di Indonesia.
Oleh karena itu dalam era demokrasi peluang untuk memasukkan norma-norma yang berasal dari hukum Islam masih tetap terbuka sepanjang hukum Islam dipahami sesuai dengan tujuannya atau sesuai dengan maqashid al-syari’ah-nya. Dalam era demokrasi , syari’at Islam juga tetap memiliki peluang yang tinggi untuk dimasukkan dalam setiap pembuatan undang-undang sepanjang ijtihad untuk menggali atau menerapkan syari’at Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman tetap dibuka seluas-luasnya. Meskipun tujuannya tidak berubah , sejarah membuktikan bahwa beberapa bagian dari syari’at atau hukum Islam mengalami evolusi.
Dalam era demokrasi setiap Muslim pada dasarnya memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memahami dan menerjemahkan hukum-hukum Tuhan. Jadi bukan hanya para fuqaha dan penguasa saja yang bisa mengatasnamakan diri sebagai khalifatullah sebagimana yang sering dipahami selama ini. Oleh karena itu ijtihad mesti dimaknai sebagai refleksi pemikiran dinamis manusia yang pada akhirnya mengarah pada konsensus atau kesepakatan. Fazlur Rahman mengatakan : ijtihad must be multiple effort of thinking minds – some naturally better than other , and some better than other in various areas – that confront each other in open arena of debate , resulting eventually in an overall consensus. [38]
Kesimpulan
Upaya sebagain umat Islam untuk mendapatkan jaminan konstitusi bagi pelaksanaan syari’at Islam semakin tipis. Dalam era demokrasi peluang untuk memasukkan unsur-unsur syari ‘at Islam kedalam undang-undang tetap besar meskipun tantangannya juga besar.Oleh karena itu umnat Islam tidak perlu memaksakan diri untuk memasukkan syari’at Islam dalam konstitusi maupun dalam undang-undang. Karena syari’at Islam sebagai norma etika sebenarnya bisa dilaksanakan dengan maupun tanpa adanya legitimasi dari negara.
Sejalan dengan tradisi sunni yang tidak mengakui adanya hirarki kependetaan ( la rahbaniyyata fil Islam) yang berarti adanya pengakuan atas kesetaraan berbagai interpretasi yang dihasilkan oleh beberapa mujtahid maka penafsiran hukum Islam yang otoriter, yang merasa bahwa tafsirannya yang paling benar disertai dengan pemaksaaan pada kelompok lain, perlu dihindari. Cara pandang seperti ini akan bisa melihat banyaknya madzhab dalam hukum Islam sebagai suatu yang positip.Cara pandang seperti ini juga memungkinkan munculnya berbagai model pembumian hukum Islam.
Umat Islam lebih baik mendalami syari’at Islam dan berusaha terus menerus menangkan spirit syari’at Islam agar tetap relevan dengan perkembangan zaman tanpa harus secara formal memproklamirkan penerapan syari’at Islam. Sebab proklamasi pemberlakuan syari’at Islam justru akan menjadi bumerang bagi umat Islam atau bagi daerah itu sendiri bila setelah diproklamirkan tingkat korupsi masih tinggi, kesenjangan sosial masih tinggi dan masyarakat tidak merasakan bedanya dan tidak merasakan situasi yang lebih adil dan sejahtera.
Dalam era demokrasi umat Islam sebaiknya belajar menerima pebedaan pendapat, tidak membatasi umat Islam yang akan melalukan ijtihad dan mengeluarkan pendapatnya dan belajar menghargai satu sama lain. Dalam era demokrasi pandangan mayoritas tentu akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan, tapi pandangan itu tidak bisa dipaksakan begitu saja apalagi bila pandangan itu telah melanggar atau mencampuri hak-hak sipil warga negara, mengandung unsur diskrimnasi.
Umat Islam kiranya perlu belajar menerima prinsip-prinsip demokrasi sebab demokrasi meskipun bukan cara yang terbaik untuk mengatur negara tapi ia merupakan “a best among the worse” kata Churcil . Dalam negara yang demokratis, umat Islam tidak hanya dihargai sebagai kelompok tapi juga dihargai secara individu sehingga dalam negara yang demokratis setiap manusia secara individu bisa bertindak sebagai khalifatullah, suatu predikat yang selama ini seolah hanya dimiliki oleh penguasa atau elit agama saja. Meskipun dalam demokrasi selalu ada vooting , kiranya umat Islam perlu berusaha menghindari apa yang disebut sebagai tyranny majority.
Akhirnya suatu analisa yang mendalam tentang tema pokok dalam makalah ini melahirkan tiga poin yang berkaitan satu sama lain yaitu:
- Islam merupakan suatu agama yamg hidup dan dinamis. Islam bergerak perlahan-lahan tapi pasti dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.
- Usaha-usaha untuk mengubah Indonesia menjadi suatu negara Islam, sekalipun sah menurut Undang-Undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan usaha prematur dan tidak realistik karena sebuah fondasi intelektual keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi diciptakan. Erat hubungannya dengan masalah ini ialah kenyataan bahwa mayoritas rakyat Indonesia belum memahami betul arti Islam bagi manusia, baik untuk kehidupan individual maupun kehidupan kolektif.
- Prospek Islam di Indonesia banyak tergantung pada kemampuan intelektual muslim, para ulama, dan pemimpin-pemimpin Islam yang lain untuk memahami realitas masyarakat mereka, baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan menghubungkannya dengan ajaran-ajaran Islam sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Al Qur’an dan sunah Nabi.[39]
[1] Mohammad Natsir, Islam sebagai Dasar Negara (Bandung: Pimpinan Fraksi Masyumi dalam Konstituante, 1957), hal.12.
[2] Ibid, hal 24-26.
[3] Ibid, hal.7.
[4] Mohammad Natsir, Islam sebagai Ideologie (Jakarta: Pustaka Aida, 1951).
[5] Z.A. Ahmad, Membentuk Negara Islam (Jakarta: Wijaya, 1956)
[6] Ibid, hal. 17.
[7] Muhammad Asad, The Principles of State of Government in Islam (Berkeley: University of California Press, 1961), hal. 1.
[8] Ibid, hal. 7
[9] Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin (Yogyakarta: Pustaka Rahayu, 1954), hal. 14
[10] Ibid, hal. 3
[11] http://www.wikipedia.co.id/-22012697/demokrasi.html
[12] Syafrudin Prawiranegara, Sejarah sebagai Pedoman untuk Membangun Masa Depan (Jakarta: Idayu, 1975), hal. 41.
[13] Ibid, hal. 11
[14] Ibid, hal. 16
[15] Ibid, hal.17.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18]Ahmad Syafii Maarif. Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 154.
[19] Ahmad Syafii Maarif, op. cit., hal. 166
[20] Ibid, hal. 56
[21] Ibid, hal. 57
[22] Konstituante Republik Indonesia, Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstiuante (Bandung: 1958), hal. 40.
[23] Ibid., hal. 432.
[24] Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila (Jakarta: Idayu Press, 1977), hal. 17.
[25] Ibid., hal. 15
[26] A.H Nasution, Sejarah kembali ke UUD’45 (Jakarta: t.p., 1976), hal. 1-44.
[27] Anak Agung Gde Agung, Twenty Years of Indonesian Foreign Policy, 1945-1965 (The Hague: Mouton & Co., 1973), hal. 277.
[28] Ibid.
[29] Ibid.
[30] Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1964), hal. 411.
[31] Syafruddin Prawiranegara, op. cit., hal. 41.
[32] Arif Maftuhin,The secularization of Islamic law, The Jakarta Post, 22 Juni 2006.
[33] Disampaikan di istana Merdeka pada hari Selasa malam tanggal 7 November 2006.
[34] Hilman Latief. Syafii Maarif, moderation and the future of Muhammadiyah. The Jakarta Post. 7 Mei, 2005.
[35] M. Hilaly Basya, Radicalism and Authoritarianism, The Jakarta Post, 30 Januari,2006.
[36] M.Adhiatera, Interfaith dialog : Agree to disagree. The Jakarta Post, 2 Mei,2006.
[37] Al-Syatibi, al-muwafaqat, jilid 2 (Bairut: Dar al-Fikr). Hal. 4-5.
[38] Fazlur Rahman, Islam challenges and opportunies dalam Alford T.Welch and Piere Cachia,(ed.), Islam: Past Influence and Present Challenge ( Edinbrugh: Edinbrugh University Press, 1979), hal.325.
[39] Ahmad Syafii Maarif, op. cit., hal. 8-9.