Wednesday, November 26, 2008

Keberlakuan Konvensi Genosida 1948 Terhadap Kasus Genosida di Turki

Pendahuluan

Kontroversi mengenai kasus genosida di Turki pada masa Perang Dunia I, yaitu pada tahun 1915-1918, kembali merebak. Banyak negara-negara seperti Amerika Serikat, Perancis, Armenia, dll. mengecam tindakan Turki pada masa lalu tersebut. Bahkan negara Perancis telah membuat RUU yang memaksa warganya mengakui bahwa pembunuhan warga Armenia di Turki pada masa Perang Dunia I sebagai tindakan pembasmian etnik atau genosida. Peristiwa genosida di Turki ini dianggap sebagai genosida pertama di zaman modern, yang bahkan disebut-sebut mengilhami Adolf Hitler untuk melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi. Peristiwa tersebut menewaskan ribuan warga Armenia di masa kerajaan Ottoman, Turki. Diperkirakan sekitar 300 ribu hingga 1,5 juta orang Armenia tewas antara tahun 1915-1918 dalam pembunuhan dan pengusiran massal bangsa Armenia.[1]

Namun pemerintah Turki menyangkalnya sebagai genosida. Menurut Turki, itu adalah peristiwa kerusuhan berdarah di tengah Perang Dunia pertama. Minoritas Armenia di Turki dituding membantu Rusia, yang diperangi aliansi Turki-Jerman. Maka dilakukanlah berbagai langkah sistematis membantai minoritas Armenia. Berita mengenai pembunuhan dan penyingkiran orang Armenia memenuhi koran-koran dunia setiap hari. Dalam catatan paling moderat, kaum Armenia yang terbunuh mencapai 300 ribu orang. Namun dalam catatan paling dramatis, korban tewas mencapai 1,5 juta orang. Yang tewas menurut Turki, bukan Cuma kaum Kristen Armenia, namun juga kaum Muslim Turki. Kendati begitu, berbagai negara sudah menggolongkan peristiwa itu secara resmi sebagai genosida.

Pada tahun 1915-1918 Kerajaan Ottoman Turki memiliki sebuah kebijakan untuk mengeliminasi kaum minoritas Armenia. Kasus genosida ini didahului oleh serangkaian tindakan genosida di tahun 1894-1896 dan 1909, dan diikuti oleh serangkaian tindakan genosida lainnya dimulai pada tahun 1920.[2] Bahkan pada tahun 1922 bangsa Armenia telah diusir dari tanah kelahirannya.

Setelah Perang Dunia II, dibentuklah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang dipelopori oleh Franklin D. Roosevelt dan Winston Churchill. PBB dibentuk agar negara-negara di dunia dapat mewujudkan kedamaian dan keamanan bersama. Pertemuan pertama PBB membahas masalah tentang genosida dan memasukkan isu genosida ke dalam ruang lingkup hukum internasional.

Pada tanggal 9 Desember tahun 1948, PBB mensahkan Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi Genosida). Pada saat itulah hukum internasional yang mengatur mengenai genosida mulai diberlakukan. Konvensi ini melarang segala tindakan yang bermaksud menghancurkan sebagian atau seluruh sebuah bangsa, etnis, ras, atau kelompok agama. Dan konvensi ini tidak hanya melarang segala bentuk tindakan genosida yang terjadi pada masa perang, tapi juga melarang segala bentuk tindakan genosida yang terjadi pada masa damai.[3]

a. Apa Itu Genosida?

Istilah genosida pertama kali dikemukakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1933. Genosida berasal dari bahasa Yunani genos yang artinya keluarga, suku atau ras, dan bahasa Latin occido yang artinya pembunuhan massal. Munculnya genosida sebagai salah satu kejahatan, didasarkan pada kejadian pembunuhan massal terhadap orang-orang Assyria di Irak pada 11 Agustus 1933. Sedangkan pembunuhan massal yang dianggap sebagai kejadian genosida yang pertama kali di dunia adalah pembantaian terhadap orang-orang Armenia oleh Turki pada tahun 1915. Lebih dari satu juta orang diperkirakan meninggal dalam kejadian tersebut. Dalam konteks hukum internasional, genosida pertama kali digunakan dalam tuntutan terhadap pelaku kejahatan perang di Pengadilan Nuremberg. Meskipun Piagam Nuremberg tidak menggunakan istilah genosida sebagai salah satu prinsipnya.

Lemkin mendefinisikan genocide secara lengkap sebagai:

”as intentional coordinated plan of different actions aiming at the destruction of essential foundations of the life of national groups with the aim of anihilating the groups themselves. The objectives of such a plan would be disintegration of the political and social institutions of culture, language, national feelings, religion, economic existence, of national groups and the destruction of the personal security, liberty, health, dignity and even the lives of the individuals belonging to such groups, ….The actions involved are directed against individuals, not in their individual capacity, but as members of the national group”.[1]

Lemkin membagi genosida ke dalam dua fase. Fase pertama adalah menghacurkan pola kebangsaan kelompok yang ditindas. Fase kedua adalah gangguan pola kebangsaan dari penindas. Gangguan ini dapat dilakukan terhadap populasi tertindas yang masih tersisa atau atas teritori, setelah bangsa penindas memindahkan populasi dan menduduki area tersebut dengan warga kelompok penindas.

Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai :

“…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:

(a) Killing members of the group;

(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;

(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;

(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;

(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”[2]

Menurut beberapa pakar, pengecualian terhadap kelompok sosial dan politik, telah membuat definisi terhadap genosida menjadi sempit. Chalk dan Jonassohn mendefinisikan genosida sebagai :

“…form of one-sided mass killing in which a state or other authority intends to destroy a group, as that group and membership in it are defined by the perpetrator.”[3]

Sedangkan R.J. Rummel memberikan pengertian terhadap genosida yang lebih luas. Menurutnya, genosida mempunyai tiga pengertian :

  1. Pengertian biasa, yaitu pembunuhan oleh pemerintah terhadap orang-orang tertentu karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keanggotaan dalam agama tertentu;
  2. Pengertian yuridis, yaitu definisi genosida yang terdapat dalam CPPCG.
  3. Pengertian umum, yaitu genosida yang memiliki arti mirip dengan pengertian biasa, namun memasukkan pembunuhan berencanas oleh pemerintah terhadap oposisi politik.

Penuntutan terhadap kejahatan genosida telah dimulai pada tahun 1918. Saat itu dalam pertemuan Imperial War Cabinet, 20 November 1918, Lord Curzon dari Inggris menekankan upaya penuntutan terhadap para pemimpin Jerman dan para Turki Muda yang melakukan pembersihan terhadap etnis minoritas Armenia di Turki. Hanya saja secara objektif penuntutan tersebut tidak menggunakan istilah “genosidatetapi menggunakan istilah “atrocious offences against the laws of war. Oleh karena tu, Winston Churchill menyebut “genosidasebagai “the crime without a namesampai kemudian istilah “genosidadiperkenalkan oleh Lemkin.[4]

b. Kronologis Peristiwa

Sejak dahulu kaum Armenia telah dikenal sebagai salah satu negara pertama yang menganut agama Kristen. Mereka memiliki bahasa sendiri, budaya sendiri, dan gereja sendiri.[5] Tetapi tanah kelahiran mereka termasuk ke dalam daerah kekuasaan kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Ottoman Turki. Pada tahun 1915, Turki yang telah menguasai daerah Armenia mendeklarasikan bahwa kaum Armenia adalah musuh dan harus dimusnahkan. Turki menyangkal tindakan genosida tersebut dengan alasan terjadinya Perang Dunia I.

Kaum Armenia menjadi korban deportasi, pengusiran, penyiksaan, pembantaian dan kelaparan. Turki menahan setiap pemimpin Armenia dan memasukkan mereka ke perbudakan . Setiap laki-laki yang tidak bisa bekerja akan dibunuh dan dimasukkan dalam program genosida. Para wanita diberi dua pilihan,yaitu mereka bisa meninggalkan rumah dan anak mereka menjadi istri muslim, atau mereka akan dideportasi. Dan kaum Armenia sisanya diasingkan di padang pasir yang berakibat mati kelaparan dan mati karena tersiksa. Sebelum Perang Dunia I terdapat sekitar 1,8 juta orang Armenia. Setelah Perang Dunia I diperkirakan dua pertiga kaum Armenia telah dibunuh dan diasingkan ke padang pasir.[6]

Sejumlah besar populasi Armenia diusir menuju ke Siria dan padang pasir dimana mereka menjadi korban kelaparan dan kehausan. Keputusan pembantaian ini muncul dari partai Ittihad ve Terakki Jemiyeti atau populer disebut sebagai partai Turki Muda yang memerintahkan pihak militer untuk melaksanakannya. Selain itu, pemerintah Turki juga membentuk pasukan khusus, Teshkilati Mahsusa yang tugas utamanya melakukan pembantaian massal.[7] Pembasmian ras ini didukung pula oleh propaganda- propaganda ideologis melalui media tentang ide pembentukan kekaisaran Turki baru yang disebut Pan- Turanism, yang terbentang dari Anatolia hingga Asia Tengah dan rencananya hanya akan dihuni oleh orang Turki asli saja. Propaganda ideologis inilah yang menjadi pembenaran pembunuhan besar- besaran tersebut.

Setelah PD I mulai berakhir, pembantaian sempat mereda, namun mulai terjadi kembali tahun 1920 sampai dengan 1923, kini dilakukan oleh partai Nasionalis Turki yang merupakan oposisi dari Pemuda Turki, namun memiliki pandangan kemurnian ras yang sama.[8] Total diperkirakan satu setengah juta orang Armenia terbunuh selama periode 1915- 1923 tersebut. Pada akhir PD I, pelaku- pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini dituntut atas pebuatan mereka. Sebagian besar lari meninggalkan Turki untuk menghindari pengadilan, namun mereka diadili secara inabsentia dan dinyatakan bersalah.[9]

c. Reaksi Atas Genosida Turki

Dampak yang terjadi dalam kasus ini sangat banyak selain menelan banyak korban. Kasus ini merupakan kasus genosida pertama yang menurut banyak sumber berpengaruh pada pembantaian yang dilakukan Hitler pada masa Perang Dunia II. Kasus ini juga membuat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang dibentuk setelah Perang Dunia II, membentuk Konvensi Genosida pada tahun1948 yang melarang segala bentuk genosida.

Pada masa modern, peristiwa tragis tersebut tak hanya berakibat memburuknya hubungan Turki dengan Armenia, namun juga hubungan Turki dengan masyarakat internasional. Banyak negara-negara yang mengecam keras tindakan Turki pada masa lalu ini. Selain Armenia, Perancis merupakan negara yang mengecam keras dengan pembuatan RUUnya yang memaksa warganya mengakui bahwa pembunuhan warga Armenia di Turki pada masa Perang Dunia I sebagai tindakan pembasmian etnik atau genosida. Sedangkan Amerika mengalami dilema dalam menyikapi kasus Turki ini mengingat hubungan yang cukup dekat antara Amerika dan Turki. Kasus Turki ini bahkan dijadikan alasan mengapa Turki sampai sekarang belum masuk Uni Eropa.[10]

d. Sejarah Konvensi Genosida

Dimulai dengan sebuah proposal dari Raphael Lemkin yang diajukan pada Konperensi International Unification of Criminal Law kelima pada 1933 gagasan mengkriminalisasikan genosida mulai dirumuskan secara internasional. Dalam konperensi di Madrid - Spanyol itu, ia mengadvokasi agar penghancuran kolektivitas rasial, agama, atau sosial dinyatakan sebagai kejahatan internasional, karena biadab (barbatary) dan besarnya penghancuran yang dilakukan (vandalism). Namun, usulan ini tidak diterima.

Sebelas tahun kemudian Lemkin yang anggota keluarganya juga menjadi korban kekejaman Nazi, menerbitkan sebuah buku dan memperkenalkan istilah ‘Genocide’, yang diambil dari kata ‘genos’ yang dalam bahasa Yunani berarti ras (race), bangsa (nation) atau suku, dan dari bahasa Latin ‘cide’ yang berarti membunuh. Dalam definisinya Genosida adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan.

Pada 8 Oktober 1945 konsep mengenai genocide untuk pertama kali diterima secara legal formal dalam sebuah dokumen internasional, yaitu pada pasal 6 (c) dari Piagam Nuremburg. Dalam proses pengadilan itu sejumlah terdakwa dikenakan dakwaan melakukan Genosida. Salah satunya dituduh dengan sengaja dan sistematis melakukan Genosida, yaitu ‘the extermination of racial and national groups, against the civilian populations of certain occupied territories in order to destroy particular races and classes of people and national, racial or religious groups’. Gagasan ini semakin kuat kedudukannya dalam sistem internasional pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia’. Secara bulat pula ditegaskan ‘status’ Genosida sebagai kejahatan dalam hukum internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad hoc committee on Genocide yang bertugas merumuskan rancangan konvensi Genosida.[11] Hanya dalam waktu 8 bulan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) diterima oleh Majelis untuk ditandatangani atau diratifikasi. Dan tepatnya, sehari sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights selanjutnya disebut DUHAM) konvensi ini terbuka untuk diratifikasi yang pada 12 Januari 1951 mulai berlaku.

e. Kewajiban Mengadili dan Menghukum di dalam Konvensi Genosida

Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara asal, memiliki hak-hak dasar semata-mata karena dia adalah manusia. Rejim hukum HAM internasional karenanya juga mengakui dan melindungi hak-hak fundamental individu dari hukum negara dan kekuasaan kedaulatan negara. Perlakuan buruk negara terhadap warga negaranya merupakan ancaman bagi negara lain dan karenanya perbuatan itu dapat diuji oleh masyarakat internasional.

Sistem perlindungan hak asasi manusia terutama bersumber pada perjanjian-perjanjian internasional. Secara teoritis maupun praktis, perjanjian-perjanjian internasional mendapat bobot yang besar dalam sistem perlindungan hak asasi manusia.[12] Sistem perlindungan yang tumbuh pesat sejak PD II ini bukan sebuah kebetulan, melainkan merupakan reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang, dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”.[13] Selanjutnya pasal-pasal 55 dan 56 Piagam memberi landasan utama bagi perumusan standar hak asasi manusia dan sistem pemantauan perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Dengan demikian persoalan hak asasi manusia menjadi kepedulian yang sah dari masyarakat internasional dan hukum hak asasi manusia menjadi standar internasional yang mengatur perilaku negara terhadap warga negaranya/penduduk yang ada di dalamnya.

Pengejewantahan pertama dari landasan ini adalah DUHAM yang norma-norma di dalamnya kemudian dielaborasi dalam kovenan atau konvensi-konvensi hak asasi manusia. Secara khusus adalah dua kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) yang bersama DUHAM merupakan International Bills of Rights. Pengadilan Nuremburg dan perumusan ’undang-undang dasar hak asasi manusia’ ini hingga berlakunya Konvensi Genosida juga merupakan wujud awal dari gagasan melindungi hak asasi manusia dari kebijakan yang dapat mengancam dunia.

Mekanisme internasional perlindungan hak asasi manusia memiliki banyak bentuk baik di tingkat dunia maupun regional. Proses integrasi norma-norma hak asasi manusia, yang terumus dalam berbagai perjanjian internasional, ke dalam sistem hukum nasional dilakukan melalui ratifikasi. Konvensi-konvensi hak asasi manusia umumnya mewajibkan negara untuk “menjamin dan melindungi” hak-hak yang ada di dalamnya kepada semua manusia yang berada di bawah yurisdiksi negara bersangkutan. Tentang sarana-sarana apa yang hendak digunakan untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia menjadi kebebasan negara untuk memilihnya. Hal ini berarti hukum hak asasi manusia internasional memungkinkan negara (pihak) menentukan bagaimana menjamin terlindunginya hak asasi manusia setiap warganya.

Berbeda dengan konvensi-konvensi HAM utama di atas, Konvensi Genosida tidak memiliki mekanisme seperti prosedur pelaporan periodik oleh negara, atau prosedur bagi perorangan maupun organisasi non pemerintah untuk mengajukan pengaduan, pencarian fakta, maupun laporan dari pelapor khusus maupun kelompok kerja. Konvensi ini juga tidak mempunyai badan pemantauan pelaksanaan konvensi sebagaimana Konvensi Anti Penyiksaan yang memiliki Committee Against Torture yang juga membantu pengembangan standar melalui resolusi atau keputusan-keputusan lainnya. Perbedaaan ini tidak berarti negara tidak dibebani kewajiban tertentu oleh konvensi Genosida. Dalam konvensi Genosida negara pihak memiliki kewajiban absolut untuk mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran (perpetrators) dari konvensi tersebut. Pasal 4 mengatur bahwa ‘orang yang melakukan Genosida atau tindakan lain sebagaimana dikemukakan dalam pasal 3 harus dihukum’. Tidak terkecuali penguasa sah secara konstitusi, pejabat publik dan orang perorangan biasa. Pasal 5 kemudian mewajibkan negara pihak untuk melakukan segala upaya untuk memberi hukuman yang efektif terhadap mereka yang bersalah melakukan Genosida. Termasuk dalam kewajiban ini negara harus menyusun sebuah hukum yang mengatakan bahwa Genosida adalah kejahatan yang harus dihukum.

Hal ini berarti, Konvensi Genosida merupakan satu dari sedikit konvensi hak asasi manusia yang secara eksplisit mewajibkan negara mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Perbedaan di atas bukan sebuah kecelakaan. Sebab, sudah menjadi tujuan asal pembentukan Konvensi ini oleh PBB untuk mengutuk tindakan dan menghukum pelaku Genosida.[14] Konvensi Genosida merupakan satu dari sejumlah kecil konvensi HAM internasional yang mengkriminalisasikan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karenanya Konvensi Genosida memaksa individu untuk menghadapi hukuman pidana sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatan Genosida.

Disamping itu konvensi meniadakan pilihan pada negara dalam menentukan cara menjamin terlindunginya hak asasi manusia dari tindakan Genosida selain melakukan penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran, mengadili dan menghukum pelaku. Bahkan dapat dikatakan bahwa konvensi Genosida merupakan pengakuan masyarakat internasional yang pertama bahwa tindak Genosida baik di masa damai maupun perang adalah kejahatan yang pelakunya harus dihukum. Sebelum lahirnya konvensi Genosida 1948, dalam hukum internasional hanya kejahatan perang yang mewajibkan negara menghukum pelakunya.

f. Dasar Keberlakuan Konvensi Genosida Sebagai Hukum Internasional

Di dalam perkembangan hukum internasional, fakta menunjukkan bahwa Hukum Internasional tidak dapat meniadakan keberadaan dan berlakunya hukum nasional dari setiap anggota masyarakat internasional. Banyak sekali dasar hukum, peraturan hukum ataupun kebiasaan suatu negara, menjadi bagian (pertimbangan) hukum internasional. Misalnya masalah pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) dari negara tertentu yang sering “kurang sejalan” dengan deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Sedunia yang telah ada. Hal ini terkait atau tidak terlepas juga dari penafsiran/kepentingan dari setiap negara serta terkait pula dengan masalah-masalah politik yang ada di dalam negara tersebut.

Demikian pula misalnya, perbedaan sistem hukum dan praktik hukum dari suatu negara serta perlakuan terhadap warga negaranya, seakan-akan menjadi masalah negara yang bersangkutan, hal ini menjadi masalah pula dalam hukum internasional. Dari sisi ini terbukti adanya keterkaitan atau hubungan timbal balik antara hukum internasional dengan hukum nasional dari suatu negara.

Pengertian hukum internasional didasarkan atas adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah negara-negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak di bawah kekuasaan yang lain.[15] Dengan perkataan lain, hukum internasional merupakan tertib hukum koordinasi antara anggota-anggota masyarakat internasional yang sederajat. Anggota-anggota masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mereka terima sebagai perangkat kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengikat dalam hubungan di antara mereka.[16]

Masyarakat internasional tidak memiliki suatu kekuasaan eksekutif pusat yang kuat seperti di dalam negara-negara di dunia. Dalam masyarakat juga tidak terdapat kekuasaan legislatif atau kekuasaan kehakiman. Lembaga-lembaga tersebut merupakan ciri-ciri yang jelas akan adanya hukum positif akan tetapi ini bukan berarti bahwa ketiadaan lembaga-lembaga tersebut berarti tidak adanya hukum. Hal-hal mengenai dasar kekuatan mengikat dari hukum internasional banyak dikemukakan oleh para tokoh yang menciptakan teori-teori mengenai dasar berlakunya hukum internasional.

Teori yang paling terkenal dan tertua adalah teori hukum alam (natural law). Teori ini mula-mula mempunyai ciri-ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius.[17] Hugo Grotius mendasarkan sistem hukum internasionalnya atas berlakunya hukum alami. Akan tetapi hukum alami tersebut telah dilepaskannya dari keagamaan dan kegerejaan (disekularisasi). Teori ini merupakan teori yang mendasarkan pada rasio dan akal manusia di mana hukum tersebut harus ditaati oleh semua manusia di manapun dia berada. Hukum internasional dianggap bagian dari hukum alam yang sangat universal dan mendasar. Negara-negara terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum alam.[18]

Keberatan yang secara umum dapat dikemukakan terhadap teori-teori yang didasarkan atas hukm alam ini adalah bahwa apa yang dimaksud hukum alam itu sangat samar dan tergantung dari pendapat subyektif dari yang bersangkutan.[19] Walaupun demikian, teori hukum alam telah meletakkan dasar moral yang berharga bagi hukum internasional dan perkembangannya.

Aliran lain mendasarkan kekuatan mengikat pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional, yang disebut juga dengan teori voluntaris. Menurut teori ini, pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber dari segala hukum, dan hukum internasional itu mengikat karena negara-negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional.[20] Tokoh-tokoh dalam teori ini adalah Hegel, George Jellineck, dan Zorn.

Kelemahan teori ini adalah bahwa tidak dapat menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasionalyang tergantung dari kehendak negara-negara dapat mengikat negara-negara itu.[21] Bagaimanakah kalau suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk mau terikat oleh hukum itu? Hukum internasional lalu tidak lagi mengikat. Teori ini juga tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu negara baru, sejak munculnya dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh hukum internasional lepas dari mau atau tidaknya ia tunduk padanya.[22]

Lalu Triepel berusaha untuk membuktikan bahwa hukum internasional itu bukan mengikat karena kehendak mereka satu persatu, namun karena adanya kehendak bersama, yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum internasional.[23] Segi lain dari teori tersebut pada hakekatnya adalah pada dasarnya memandang hukum internasional sebagai hukum perjanjian antara negara-negara.

Aliran lainnya adalah Mazhab Wiena. Dalam teori ini persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki adanya suatu hukum atau norma sebagai sesuatu yang ada terlebih dahulu, dan berlaku lepas dari kehendak negara.[24] Teori ini juga dapat dikategorikan sebagai aliran obyektivis. Menurut mazhab ini kekuatan mengikat suatu kaedah hukum internasional didasarkan pada suatu kaedah yang lebih tinggi. Kaedah yang lebih tinggi tersebut didasarkan pada kaedah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya sampai pada puncak piramida kedah-kaedah hukum di mana terdapat kaedah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat dikembalikan lagi pada kaedah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima sebagai suatu hipotesis asal (Ursprungshypothese) yang tidak dapat diterangkan secara hukum.[25] Hans Kelsen dikenal sebagai tokoh dari Mazhab Wiena.

Akan tetapi, mazhab ini tidak dapat menerangkan mengapa kaedah dasar itu sendiri dapat mengikat. Sebab tidak mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum internasional itu disandarkan atas suatu hipotesis.[26] Sehingga mazhab ini pada ujungnya akan kembali pada teori hukum alam.

Lalu ada Mazhab Perancis dengan para tokohnya seperti Fauchile, Scelle, dan Duguit. Mazhab ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor-faktor biologis, sosial, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta kemasyarakatan (fait social).[27] Mazhab ini mengembalikan kepada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki hasrat untuk bergabung dan berinteraksi dengan manusia lain. Hal tersebut juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi dasar kekuatan mengikat hukum internasional terdapat pada kenyataan sosial bangsa-bangsa untuk bergabung dan berinteraksi satu sama lain.

Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara, dan teori objektivis, yang menganggap berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara.

Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Pandangan teori voluntarisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan teori objektivis yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.

Aliran dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh aliran dualisme untuk menjelaskan hal ini:

  1. Sumber hukum, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber hukum yang berbeda, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama dari negara-negara sebagai masyarakat hukum internasional;
  2. Subjek hukum internasional, subjek hukum nasional adalah orang baik dalam hukum perdata atau hukum publik, sedangkan pada hukum internasional adalah negara;
  3. Struktur hukum, lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum pada realitasnya ada mahkamah dan organ eksekutif yang hanya terdapat dalam hukum nasional. Hal yang sama tidak terdapat dalam hukum internasional.[28]

Kenyataan, pada dasarnya keabsahan dan daya laku hukum nasional tidak dipengaruhi oleh kenyataan seperti hukum nasional bertentangan dengan hukum internasional. Dengan demikian hukum nasional tetap berlaku secara efektif walaupun bertentangan dengan hukum internasional.[29]

Maka sebagai akibat dari teori dualisme ini adalah kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau berdasar pada perangkat hukum yang lain. Dengan demikian dalam teori dualisme tidak ada hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional karena dua perangkat hukum ini tidak saja berbeda dan tidak bergantung satu dengan yang lain tetapi juga terlepas antara satu dengan yang lainnya.

Akibat lain adalah tidak mungkin adanya pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut, yang mungkin adalah renvoi. Karena itu dalam menerapkan hukum internasional dalam hukum nasional memerlukan transformasi menjadi hukum nasional.

Aliran monisme didasarkan pada pemikiran bahwa satu kesatuan dari seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dengan demikian hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua bagian dalam satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Hal ini berakibat dua perangkat hukum ini mempunyai hubungan yang hirarkis. Mengenai hirarki dalam teori monisme ini melahirkan dua pendapat yang berbeda dalam menentukan hukum mana yang lebih utama antara hukum nasional dan hukum internasional.

Ada pihak yang menganggap hukum nasional lebih utama dari hukum internasional. Paham ini dalam teori monisme disebut sebagai paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain beranggapan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional. Paham ini disebut dengan paham monisme dengan primat hukum internasional. Hal ini dimungkinkan dalam teori monisme.

Monisme dengan primat hukum nasional, hukum internasional merupakan kepanjangan tangan atau lanjutan dari hukum nasional atau dapat dikatakan bahwa hukum internasional hanya sebagai hukum nasional untuk urusan luar negeri.[30] Paham ini melihat bahwa kesatuan hukum nasional dan hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum internasional bersumber dari hukum nasional. Alasan yang kemukakan adalah sebagai berikut:

  1. Tidak adanya suatu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan negara-negara;
  2. Dasar hukum internasional dapat mengatur hubungan antar negara terletak pada wewenang negara untuk mengadakan perjanjian internasional yang berasal dari kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masing-masing negara.[31]

Monisme dengan primat hukum internasional, paham ini beranggapan bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional yang menurut pandangan ini merupakan suatu perangkat ketentuan hukum yang hierarkis lebih tinggi.[32] Menurut paham ini hukum nasional tunduk pada hukum internasional yang pada hakikatnya berkekuatan mengikat berdasarkan pada pendelegasian wewenang dari hukum internasional.

Walaupun kedua teori ini tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan dan masih banyak kelemahanny, namun pada kenyataannya kedua teori ini dipakai oleh negara-negara dalam hal menetapkan keberlakuan hukum internasional negara masing masing.



Kesimpulan

Dalam konteks kasus makalah ini, secara umum hukum internasional tidak berlaku secara efektif. Mahkamah Internasional tidak mempunyai kekuatan yang besar dalam menegakkan keputusannya mengenai hukum internasional dan tidak semua negara memberlakukan hukum internasional di dalam negaranya. Negara inilah yang di dalam mata kuliah hukum internasional mengadopsi teori kehendak (voluntaris) sehingga memberlakukan hukum internasional berdasarkan kehendaknya masing-masing.

Masalah kedaulatan masing-masing negara masih merupakan faktor yang kuat yang dapat memperlemah hukum internasional. Bahkan setelah PBB mensahkan Konvensi Genosida tahun 1948, hukum internasional tersebut masih berlaku tergantung negara-negara yang menyetujuinya atau negara-negara yang ingin meratifikasi konvensi tersebut ke dalam negaranya sendiri. Hal inilah yang masih menyulitkan berlakunya konvensi ini dan mempersulit penegakan hukumnya.

Sampai saat ini pemerintah Turki tetap membantah bahwa ratusan ribu penduduk keturunan Armenia menjadi korban genosida yang dilakukan penguasa Ottoman pada tahun 1915 dan 1916. Jumlah korban diberitakan antara 500.000 hingga satu setengah juta orang dan selalu diperdebatkan. Di Turki apabila seseorang mengatakan Turki melakukan genosida maka ia dapat dihukum karena menghina jati diri Turki.

Apakah orang menamakannya genosida, pembunuhan massal atau deportasi memang kelihatannya lebih suatu diskusi istilah, bukan diskusi sejarah. Tetapi diskusi ini tidak mengurangi kekejian yang dialami korban. Para pembantah genosida Armenia mendasarkan pendapat mereka bahwa sebenarnya ketika itu warga Armenia sedang berperang melawan pemerintah Ottoman. Sewaktu pecah Perang Dunia pertama mereka memilih mendukung Rusia, dengan harapan dapat melepaskan diri dari kerajaan Ottoman, seperti yang sebelumnya dilakukan oleh orang Yunani, Bulgaria dan Serbia.

Sampai sekarang belum ditemukan dokumen-dokumen resmi yang menunjukkan bahwa pihak penguasa di Istanbul ketika itu secara eksplisit mengambil keputusan untuk membantai sebagian besar penduduk etnis Armenia. Faktor kejadian yang terlalu lamapu dan kurangnya bukti inilah yang menyebabkan proses penyelesaian kasus genosida ini menjadi berlarut-larut.

Kasus ini masih dalam proses di dunia internasional karena berlakunya Konvensi Genosida tahun 1948 masih diperdebatkan. Turki berpendapat bahwa Konvensi Genosida tahun 1948 tersebut tidak bisa diberlakukan atas kejadian pada tahun 1915. Turki juga menyangkal bahwa peristiwa pada tahun 1915 tersebut adalah genosida. Belum lagi masalah Turki dengan Perancis terkait dengan RUU yang dibuat Perancis. Tampaknya penyelesaian kasus tersebut masih akan panjang.



[1] Prihot Nababan, Perlindungan HAM dalam Kerangka Hukum Internasional (http://pirhot-nababan.blogspot.com/2007_09_01_archive.html)

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Rouben Adalian, op. cit.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Michael Radu, The Dangers of The Armenian Genocide Resolution (http://www.speroforum.com/site/article.asp?idarticle=8456)

13 Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB No.47 (IV), 1947

[12] Chaloka Beyani, “The Legal Premises for the International Protection of Human Rights” di Guy S. Goodwin-Gill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal. 21-35.

[13] Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Basic Documents in International Law (4th Ed.), Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3

[14] Lihat pendapat hukum ICJ mengenai Konvensi Genosida dalam kasus Reservations to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Adv.Op.), 1951 ICJ Rep.15 at 23 disitir dari Mc Nair, Lord “The Law of Treaties

[15] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Binacipta, 1982), hal. 9.

[16] Ibid, hal 9.

[17] Ibid, hal. 43.

[18] Ibid, hal. 44.

[19] Ibid, hal. 44.

[20] Ibid, hal. 45.

[21] Ibid, hal. 45.

[22] Ibid, hal. 45.

[23] Ibid, hal. 45.

[24] Ibid, hal. 48.

[25] Ibid, hal. 48.

[26] Ibid, hal. 49.

[27] Ibid, hal. 50.

[28] Ibid, hal. 53.

[29] Ibid, hal. 54.

[30] Ibid, hal. 57.

[31] Ibid, hal. 57.

[32] Ibid, hal. 58.


[1] Rouben Adalian, “The Amenian Genocide: Context and Legacy”. Social Education : The Official Journal of The National Council for The Social Studies, February 1991.

[2] Ibid.

[3] Seymour Rossel, Holocaust: An End to Innocence (http://www.rossel.net/Holocaust15.htm)